Baca Juga
Menurut publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) bertajuk “Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia 2022”, sebagian besar siswa yang mengalami bullying di Indonesia adalah laki-lak. Berdasarkan rincian laporan, 31,6% kasus perundungan di Kelas 1 kelas 5 SD terjadi pada anak laki-laki, diikuti oleh anak perempuan sebesar 21,64%, sehingga secara nasional terjadi 26,8%. Selanjutnya, tingkat bullying di kalangan siswa SMP kelas dua sebesar Sebanyak 32,22% merupakan yang tertinggi diantara kelas lain baik laki-laki maupun perempuan. Berada di urutan berikutnya dengan 19,97% siswa perempuan dan Indonesia secara keseluruhan sebesar 26,32%. Sedangkan pada kategori siswa SMA/SMK kelas 11, persentase kejadian bullying pada siswa laki-laki sebesar 19,68%, disusul siswa perempuan sebesar 11,26%, dan secara nasional sebesar 15,54℅. (Cindy Mutia Annur, 2023). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingginya kejadian pembullyan di kalangan pelajar laki-laki antara lain tekanan untuk menyesuaikan diri dengan stereotip maskulinitas, persaingan antar teman sebaya, dan ketidakmampuan menangani konflik dengan cara yang sehat. Di sisi lain, pelajar perempuan mungkin menghadapi tantangan lain yang lebih halus namun tetap berdampak, seperti perundungan verbal dan sosial. Kedua faktor ini menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan dalam cara terjadinya perundungan antara anak laki-laki dan perempuan, kedua kelompok tersebut menghadapi tekanan sosial yang kuat dan ekspektasi yang kompleks di lingkungan sekolah. Hal ini menyoroti pentingnya memahami dinamika yang mendasari perilaku penindasan dan mengembangkan strategi untuk mencegah penindasan dan memberikan dukungan yang tepat untuk semua siswa.
Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan (TPPK) merupakan kelompok yang dibentuk untuk merespon secara cepat kekerasan yang terjadi di suatu satuan pendidikan. Semua sekolah wajib membentuk tim TPPK, hal ini sesuai dengan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 untuk mencegah terjadinya tindakan kekerasan di lingkungan sekolah. Berdasarkan laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, anggota TPPK berjumlah ganjil atau minimal tiga orang. Anggotanya dapat berupa pendidik, guru, perwakilan komite sekolah, orang tua atau wali yang sah. (Tari Oktaviani, 2024). Melalui kolaborasi yang aktif tim TPPK dan komunitas sekolah, bertujuan untuk tidak hanya mengurangi ctto kekerasan di sekolah, namun juga mampu meningkatkan partisipasi dan kesadaran seluruh warga sekolah dalam penanganan pencegahan kekerasan tersebut. Dan untuk menciptakan lingkungan belajar yang bebas kekerasan sehingga semua siswa dapat melanjutkan pendidikannya dengan merasa aman dan terlindungi. Hal ini kita sebagai masyarakat mendukung prinsip bahwa semua siswa berhak atas lingkungan belajar yang tidak hanya memperkaya akademis, namun juga pada dasarnya aman dan kondusif bagi kesejahteraan mereka secara keseluruhan.
Bullying di sekolah adalah momok yang mengerikan bagi banyak siswa, dengan dampak psikologis dan emosional yang sangat buruk. Oleh karena itu, penting untuk menghilangkan bully di sekolah. Dukungan dari sekolah dan guru sangat penting ketika korban merasa sendirian, tidak berdaya, dan tidak dapat dipercaya. Guru harus menunjukkan perhatian dan perhatian kepada korban dan mengajari mereka cara melindungi diri. Korban bullying juga harus mendapat dukungan psikologis dan bantuan terapeutik untuk mengatasi trauma dan memulihkan kepercayaan diri mereka. (Yulianti et al., 2024). Upaya tersebut memiliki tujuan tidak hanya untuk mengatasi secara langsung perundungan, namun juga untuk membangun budaya sekolah yang mengajarkan kebaikan, empati dan menghormati perbedaan, sehingga memungkinkan semua siswa untuk berkembang dalam suasana pembelajaran yang nyaman. Ketika siswa merasa dihargai dan didukung dalam proses pembelajaran, kemungkinan besar mereka akan berpartisipasi aktif dalam kegiatan sekolah dan lebih termotivasi untuk belajar lebih baik. Mengubah budaya sekolah bukanlah hal yang mudah dan memerlukan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, termasuk guru, staf sekolah, siswa, dan orang tua.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat 917 kejadian bullying di sekolah baik yang dilakukan oleh korban maupun pelaku sepanjang tahun 2016 hingga 2020. Jumlah kasus tersebut relatif menurun dari tahun 2016 berjumlah 253 kasus, menjadi 245 kasus pada tahun 2017, 234 kasus pada tahun 2018, dan menurun secara signifikan masing-masing menjadi 97 dan 88 kasus pada tahun 2019 dan 2010. Ini tidak termasuk kejadian-kejadian yang mungkin merupakan perundungan namun peristiwa yang terjadi di luar sekolah, misalnya kasus anak menjadi korban kekerasan fisik seperti dianiaya, dipukul, atau berkelahi, dan bertentangan dengan hukum. Seseorang yang pernah mengalami kekerasan psikologos yaitu berupa ancaman dan pernah mengalami pelecehan seksual. Total kejadian ketiga bentuk kekerasan tersebut mencapai 2.390 kejadian. Namun, catatan khusus harus diberikan pada data tahun 2020 karena terjadi pandemi penyakit virus corona (COVID-19) dan banyak sekolah yang mengadakan kelas secara online (Mediakom, 2024). Insiden-insiden ini menyoroti tantangan masyarakat yang lebih luas dalam memastikan keselamatan anak, melindungi hak-hak anak serta melindungi mereka dari kekerasan. Pendidik mempunyai peran penting untuk mengetahui tanda-tanda awal penindasan dan memberikan intervensi, serta dukungan tepat waktu kepada korban dan pelaku. Jadi bullying bukan hanya masalah sekolah, hal ini merupakan tantangan sosial yang memerlukan tindakan kolektif untuk menjamin perlindungan dan kesejahteraan semua anak.
Depresi adalah salah satu konsekuensi paling umum yang dialami korban bullying. Mereka sering merasa sedih, kehilangan minat pada aktivitas yang mereka sukai, dan merasa putus asa. Hal ini dapat mempengaruhi aktivitas korban secara keseluruhan dan bahkan mengarah pada pikiran dan perilaku yang merusak diri sendiri, dan ketakutan juga merupakan efek umum dari penindasan. Korban seringkali mengalami rasa cemas dan takut dalam berbagai situasi, khususnya lingkungan sekolah. Hal ini dapat memengaruhi kemampuan konsentrasi siswa saat belajar dan berinteraksi dengan orang lain, serta dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan kecemasan yang lebih parah di kemudian hari. Perasaan cemas ini dapat menghalangi seseorang untuk berpartisipasi di sekolah dan kegiatan sosial serta mempengaruhi perkembangan sosial dan emosional mereka secara keseluruhan. (Cindy Mutia Annur, 2023). Seiring waktu, kecemasan ini dapat meningkat dan korban mengalami gangguan kecemasan yang lebih parah, mungkin dapat menimbulkan efek negatif jangka panjang. Kecemasan yang dirasakan para korban dapat menghalangi mereka untuk berpartisipasi di sekolah dan kegiatan sosial, semakin mengucilkan mereka, dan menghambat kemampuan mereka dalam menjalin hubungan pertemanan yang bermakna dengan orang lain. Menjauh dari interaksi sosial dapat menyebabkan perasaan kesepian dan terasingkan yang terus-menerus, dapat memperburuk kesehatan mental siswa. Selain itu, orang tua dan wali harus mengenali tanda-tanda penindasan dan berhati-hati dalam memberikan dukungan tanpa syarat kepada anak-anak yang mungkin berada dalam kesusahan. Saluran komunikasi terbuka antara sekolah dan keluarga sangat penting untuk mengidentifikasi dan mengatasi insiden perundungan dengan cepat dan efektif.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah insiden bullying tertinggi di tingkat ASEAN, yaitu mencapai 84%, lebih tinggi dibandingkan Nepal dan Vietnam sebesar 79%, Kamboja sebesar 73%, dan Pakistan sebesar 43% (KPAI, 2017). Bullying merupakan sebuah fenomena sosial yang masih menjadi masalah serius. Dukungan sosial sangat penting untuk menjaga kesehatan fisik dan juga mental para korban. Meningkatkan kesadaran seluruh masyarakat mengenai dari negatifnya dampak bullying dan mengajak seluruh pemangku kepentingan seperti, pendidik, orang tua, dan masyarakat luas untuk mencegah dan mengatasi masalah ini. Upaya bersama untuk menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung, aman dan nyaman adalah kunci untuk mengurangi populasi perundungan di Indonesia. (Yulianti et al., 2024). Para korban mungkin takut akan pembalasan atau pengucilan sosial jika mereka angkat bicara, yang dapat menyebabkan tidak adanya pelaporan dan budaya diam. Dengan memberdayakan siswa untuk menjadi pengamat aktif, kita dapat mengubah norma-norma sosial dan mengurangi kasus-kasus intimidasi. Program yang meningkatkan dukungan teman sebaya dan keterampilan resolusi konflik memungkinkan siswa untuk melakukan intervensi secara konstruktif dan menumbuhkan budaya solidaritas. Melalui tindakan kolektif dan advokasi yang berkelanjutan, Indonesia dapat membuka jalan menuju masa depan yang lebih aman dan inklusif bagi generasi muda kita.
Bullying merupakan masalah sosial baik di sekolah, universitas, tempat kerja, maupun masyarakat. Bully juga menjadi permasalahan serius yang harus diatasi bersama. Salah satu cara untuk mencegah penindasan adalah dengan menghindari diri sendiri menjadi pelakunya. Sekolah telah melakukan upaya berulang kali untuk menangani pelaku perundungan, seperti memberikan sanksi kepada pelaku dan memanggil orang tua pelaku ke sekolah untuk meminta kerja sama mereka dalam penanganan. Namun hasil yang dicapai belum cukup efektif karena perubahan sikap dan perilaku pelaku pembullyan hanya bersifat sementara. Berbagai solusi dapat diterapkan untuk mengatasi masalah ini, sekolah dapat menangani penindasan dengan mengembangkan program konseling behavioral, atau yang disebut proses, untuk membantu orang menghadapi masalah interpersonal dan emosional serta mengubah perilaku. Dan program Roots, atau yang disebut “pendekatan untuk mencegah dan memberantas kekerasan teman sebaya,” berfokus pada penciptaan lingkungan yang aman dan kondusif di sekolah dengan menekankan peran siswa sebagai agen perubahan. Melalui penerapan program-program ini semoga dapat membuat suatu lingkungan sekolah yang aman dan tentram serta bisa mencegah dan menjadi solusi untuk mengatasi perundungan di satuan pendidikan.
REFERENSI
Cindy Mutia Annur. (2023). BPS: Siswa Laki-laki Lebih Banyak Jadi Korban Bullying. Databoks. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/10/06/bps-siswa-laki-laki-lebih-banyak-jadi-korban-bullying
Mediakom, R. (2024). Perundungan Itu Belum Juga Berakhir. Sehat Negriku. https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/blog/20240109/4644682/perundungan-itu-belum-juga-berakhir/
Tari Oktaviani. (2024). Pembentukan TPPK dan Anggotanya. Www.Kompas.Com. https://nasional.kompas.com/read/2024/03/08/00150081/pembentukan-tppk-dan-anggotanya
Yulianti, Ipa Pakpahan, Dila Angraini, Resty Ayunabilla, Alma Aura Febia, & Muhammad ilham Habibi. (2024). Dampak Bullying Terhadap Kesehatan Mental. Jurnal Mahasiswa BK An-Nur : Berbeda, Bermakna, Mulia, 10(1), 153–160.
Penulis:
Dini Muthia Az Zahra (202214502193) - R4A
Universitas Indraprasta PGRI