Baca Juga
Dunia pendidikan Indonesia sedang mengalami demam. Penyebabnya masih
harus ditelusuri. Bisa jadi ini karena Pak Anies Baswedan baru saja
pergi membawa sebagian besar harapan masyarakat Indonesia akan
pendidikan yang lebih baik, sebagian yang lain mungkin sedang
meraba-raba dahi dan bertanya-tanya apakah ini karena wacana yang
digulirkan Pak Menteri baru tentang mewajibkan anak-anak untuk full day
school.
Reaksi masyarakat terhadap demam ini beragam, sebagian
ada yang berangan-angan, "Andai anak-anak kita sekolah di Finlandia."
Tidak ada PR di Finlandia, jam sekolahnya pun lebih pendek, tetapi
sistem pendidikan di sana melahirkan anak-anak yang lebih pandai dan
lebih sukses. Akan tetapi benarkah anak-anak pandai itu lahir dari jam
sekolah yang pendek dan tidak adanya PR?
Fakta menariknya, poin
penting dalam sistem pendidikan Finlandia adalah rasio jumlah guru dan
murid. Satu guru untuk 12 anak. Bandingkan dengan di beberapa negara maju
lain, satu guru untuk 24 anak. Lalu, bagaimana dengan di Indonesia? Posisi
seorang guru terhadap muridnya, di Finlandia, layaknya pengacara dengan
kliennya atau dokter dengan pasiennya. Di sana, tes atau ujian yang
sifatnya terstandar hanya diberikan setelah anak berusia 16 tahun. Di
Indonesia, mau masuk TK saja ada tesnya. Coba hitung, berapa kali anak
Indonesia harus berhadapan dengan tes terstandar nasional sebelum mereka
berusia 16 tahun?
Dengan beban sekolah yang lebih ringan,
anak-anak Finlandia mempunyai lebih banyak waktu untuk menjadi anak-anak
sesungguhnya dan berada di rumah. Yang menarik, jika mengacu pada hasil
riset internasional, anak-anak menghabiskan 7.800 jam di rumah dan 900
jam di sekolah selama setahun. Pertanyaannya, which teacher has the
biggest influence? Guru atau orangtua?
Ketika anak-anak
Finlandia berada di rumah, orangtua mereka mengajari bagaimana
menghabiskan waktu dengan membaca. Ketika anak-anak Indonesia
mendapatkan jam sekolah formal yang lebih pendek maka sisa waktu mereka
diisi dengan les tambahan di bidang akademis. Apakah itu artinya anak
Indonesia lebih senang belajar dibandingkan anak-anak Finlandia?
Sementara anak Indonesia mengejar kemampuan akademis dengan les
matematika, bahasa asing, dan sebagainya, minat membaca anak Indonesia justru
menukik tajam dibandingkan negara-negara lain di Asia. Anehnya, meski
anak-anak Indonesia kelihatan suka sekali belajar ketimbang membaca,
tetapi nilai PISA (Programme International Student Assessment) 2012-nya
berada di peringkat 61 untuk literasi membaca dan peringkat 64 untuk
literasi Matematika serta Sains, dari 64 negara yang mengikuti asesmen
tersebut. Peringkat lima teratas diduduki oleh China (Shanghai),
Singapura, Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang. Negara-negara
yang relatif lebih dekat dengan Indonesia dan sangat mungkin menjadi
bagian dari MEA. Mungkin anak-anak Indonesia tidak akan bersaing dengan
anak-anak Finlandia, tetapi dalam MEA anak-anak Indonesia akan bertemu
dengan anak-anak dari Singapura atau Vietnam. Dua negara di Asia
Tenggara yang nilai literasi membacanya jauh lebih baik.
Baiklah, kalau begitu mari berangan-angan, "Andai anak-anak kita
bersekolah di Korea Selatan atau China." Apa yang terjadi di sana?
Sebagian besar remaja di Korea Selatan bangun pukul 6.30 pagi dan
menghabiskan waktu di sekolah dari pukul 08.00 pagi sampai pukul 04.00 sore, atau pukul 05.00 sore,
jika ada kegiatan klub maupun ekstra. Setelah itu, mereka pulang sebentar
untuk makan dan pergi ke "sekolah kedua" dari pukul 06.00 sampai 09.00 malam.
Setelah itu masih ada sesi self study selama dua jam sebelum akhirnya
mereka tidur dan bangun untuk mengulang kembali rutinitas yang sama.
Mereka sudah terbiasa bukan hanya dengan full day school, tetapi juga
dengan double shift school. Hal tersebut sudah menjadi gaya hidup
sebagian besar remaja di sana.
Dari hasil penelitian* sebagian
besar orangtua, terutama ibu, merasa cemas dengan kondisi tersebut. Mereka harus mengeluarkan biaya ekstra untuk pendidikan dan merasakan
tekanan sosial yang sangat hebat pada anak-anak mereka. "Korea tidak
punya banyak sumber daya alam, manusialah yang menjadi penopang,
sehingga harus bisa benar-benar stand out agar bisa berkompetisi."
Hasil investasi besar-besaran dalam dunia pendidikan sangat dirasakan
oleh negara ini dengan lompatan kemajuan pembangunan ekonomi dan
teknologinya yang sangat pesat. Bahkan keberhasilan anak-anak Korea
Selatan (hasil GSCE test dibandingkan dengan murid dari Wales, England,
dan Irlandia Utara) dalam mendapatkan skor tes matematika yang sempurna
dengan waktu hanya setengah dari yang diberikan, membuat Menteri
Pendidikan UK mencontoh kurikulum yang diterapkan di Korea Selatan.
Tentu ada pengorbanan yang harus ditempuh untuk semua itu. Angka
statistik kematian penduduk di bawah usia 40 tahun yang disebabkan
karena bunuh diri sangat tinggi dan hal itu juga berkaitan dengan
kompetisi dalam hal pendidikan dan pekerjaan. Menyikapi hal tersebut,
Menteri Pendidikan Korea Selatan, Nam Soo Suh, membuat kebijakan baru
dalam hal pendidikan, tujuannya untuk menyeimbangkan dan membuat
orang-orang lebih bahagia. Prof Juho Lee, Menteri Pendidikan
sebelumnya, menambahkan bahwa sudah saatnya mereformasi sistem pendidikan
yang hanya berbasis pada hasil tes. Skor memang penting di masa
Industrialisasi, tetapi sekarang sudah saatnya beralih pada kreativitas
dan kapasitas sosial-emosional. Jika diibaratkan sakit, Korea Selatan sudah menemukan apa yang menyebabkan sistem pendidikannya mengalami demam.
Tidak berbeda jauh dengan Korea Selatan, China juga menjadi salah
satu negara yang penduduknya memberikan penekanan ekstrem pada investasi
uang dan waktu dalam hal pendidikan. Antropologis dari Australian
National University, Andrew Kipnis, mengatakan bahwa di China, orangtua
dari kelas menengah lebih mementingkan dana untuk sekolah dibandingkan
kesehatan anaknya, tidak jarang mereka sampai terlilit utang agar bisa
menyekolahkan anaknya di luar negeri. Anak-anak, bahkan sejak sekolah
dasar, sudah mendapatkan pelajaran tambahan. Semua itu untuk persiapan
masuk universitas. India dan Indonesia adalah dua negara yang belakangan
masuk ke dalam deretan negara yang titik berat pengeluaran terbesarnya
ada pada investasi pendidikan.
Rasanya, tidak jauh berbeda dengan
di China atau Korea Selatan, di Indonesia pelan-pelan sistem
pendidikannya seolah bergeser pada siapa yang mempunyai dana lebih dan
waktu lebih banyak yang akan mendapatkan pelayanan pendidikan lebih baik. Itu baru sebagian kecil persoalan yang dianggap menyebabkan "demam". Belum lagi masalah kurikulum yang bergonta-ganti, atau
implementasi kebijakan yang belum dapat terealisasi dan memberi hasil
yang positif. Lalu, sekarang bergulir wacana tentang full day school.
Meskipun sebenarnya beberapa sekolah swasta sudah menerapkan hal itu.
Pertanyaannya bukan lagi apakah dengan menyekolahkan anak di sekolah
mahal atau full day school akan menjamin kesuksesan hidupnya, tetapi
apakah sistem pendidikan yang dienyam anak kita mampu melahirkan
anak-anak pembelajar?
Teringat obrolan dengan seorang rekan
WNA. Dia bertanya bagaimana anak Indonesia bisa survive dalam persaingan
global? Salah satu alasannya, they dont even know how to use public
transport.
Me : Why did you say so?
R: Mereka
seperti tinggal dalam gelembung. Dari rumah diantar supir dengan mobil
berpendingin, masuk private school, pulang atau les, ke mana-mana diantar
lagi. Even Japan kindergarten know how to deal with strangers or
predators.
Me: Well, nggak semua anak di Indonesia gitu
sih. Mungkin yang kamu liat di Jakarta sekarang yang seperti itu, tapi ada
juga yang nggak. Di Bandung, Semarang, Jogja beda lagi. I used to naik
angkot saat sekolah, di Bandung sekarang banyak yang bike to school
juga. When you doing your research here, you'll develop new point of
view."
R : Well, kalau in goverment school, yes i believe ada
yang begitu. But they dont get much at public school, that's why your
country develop so many private and religious based school. Mereka
terlalu takut anaknya terkontaminasi pendidikan yang jelek dan terpapar
ajaran agama yang berbeda. Mereka bikin pendidikan jadi eksklusif dan
mahal.
Agak menohok sih, mendengarnya. Saya juga memasukkan anak
ke sekolah swasta salah satunya dengan alasan, kalau sekolah di negeri
masih harus memberi pelajaran tambahan lain, misalnya bahasa Inggris,
dan belum pede kalau harus ngajarin bab agama sendiri. Seperti bisa
menangkap apa yang sedang saya pikirkan, dia berkata lagi.
R:
See, you too, not confident to decide about homechooling your kids. Kamu
dibandingin ibu di Pasar Sukumvit kemarin itu jauh lebih confident dia.
Dia berani ambil keputusan ngajarin anaknya sambil jualan di
pasar. Dia yakin anaknya bisa belajar banyak hal saat di pasar. Said
that a mother is her childs first school in Islam, right. If your
religion said so, you should be sure about that.
Ingatan saya melayang kembali saat melihat seorang ibu
berjualan di tengah keramaian pasar sementara anaknya belajar membaca. Rekan saya itu mewawancarainya. Saya mendengar penerjemah membahasakan
kembali beberapa kalimatnya.
"Kita tidak bisa berharap terlalu banyak
pada pemerintah, sekolah, atau guru. Sebenarnya, di mana saja anak kita
bisa belajar. Sekalipun kita memasukkannya ke sekolah yang bagus, kita
tidak bisa memindahtangankan begitu saja nasib anak kita kepada mereka.
Sudah tugas saya mengajarinya membaca. Besok dia juga harus bisa
berhitung, meskipun sederhana, dan hanya digunakan untuk melanjutkan
pekerjaan saya berjualan di pasar."
Anaknya mendongak ketika
melihat sang ibu diajak bercakap-cakap dengan seorang bule. Ia mendekati
rekan saya, ikut mendengarkan percakapan dan sesekali ikut tersenyum
sambil memerhatikan sang ibu bercerita tentang keluarga mereka.
Saat
melihat sorot mata anak itu, saya percaya dia akan tumbuh menjadi
seorang pembelajar, tanpa perlu pergi ke sekolah mahal atau full day
school. Ada rasa ingin tahu yang besar dari sorot matanya, bukan tentang
bagaimana ibunya menghasilkan uang, tetapi tentang bagaimana ibunya
menjalani kehidupan.
Tidak, rasanya saya tidak perlu
berandai-andai menyekolahkan anak di tempat yang sempurna, karena pasti
tidak ada. Saya hanya perlu mengajari anak-anak untuk percaya bahwa
ruang kelas bukan hanya di sekolah, tetapi pada hati yang terbuka pada
tempat dan orang-orang di sekitarnya.
Semarang 8 Agustus 2016
Magister Profesi Psikologi Universitas Padjadjaran
Penulis Buku '29 1/2 Hari', 'Lenka', 'Buku Pintar Ibu & Bayi', 'My Cup of Tea'
Sumber gambar: www.informasipendidikan.com