Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

18 August 2019

Malas Membaca Berarti Tak Independen

Baca Juga




Berdasarkan survei UNESCO minat membaca masyarakat Indonesia hanya mencapai angka 0.001 % yang berarti dalam seribu masyarakat hanya satu orang yang memiliki minat membaca. Tidak berhenti di situ, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah lewat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang diwujudkan melalui wajib membaca 15 menit sebelum waktu pembelajaran dimulai untuk tingkat sekolah.

Memprihatinkan sekali ya? Di saat semua orang berharap bangsa ini semakin maju tetapi rakyatnya saja malas untuk membaca. Lupakan tentang berbagai pribahasa yang menyatakan betapa pentingnya membaca, kualitas pertanyaan orang saja bisa diukur dari sedalam apa dia membaca.

Malas membaca bukan menjadikan orang bodoh hanya saja tidak membaca membuat kita terlihat gugup dan penuh omong kosong. Membaca bukan berarti sekedar mengeja tulisan di buku namun seberapa besar kita memahami apa yang tertera. Jika hanya sekedar membaca, anak sekolah dasar pun tentu bisa melakukannya.

Betapa selama ini kita melihat perbedaan yang mencolok atas orang yang suka membaca dan memahami dengan orang yang hanya membaca saja dan orang yang sama sekali tidak suka membaca. Biasanya orang yang sekedar membaca saja lebih terlihat sok tahu dan ingin terlihat pintar di hadapan orang banyak sedangkan orang yang sama sekali tidak membaca lebih sering terlihat gugup dan terbata-bata. Orang yang membaca dan memahami biasanya lebih “kalem” dan tenang. Tak banyak bicara karena ia tahu bagaimana harus menempatkan diri. Tak heran, orang jualan rokok lebih akaya dibanding berjualan buku.

Bagaimana pun, membaca dan memahami merupakan dua hal yang penting. Tidak salah bila orang menyebut generasi Indonesia adalah generasi nol buku (puisi Taufiq Ismail). Ataukah membaca terlihat sebagai sesuatu yang individualis.?

Mungkin orang-orang di luar sana, suka membaca karena lingkungan sosial dan keadaan mereka yang menuntut untuk harus membaca. Sedangkan bangsa kita menganggap berbicara terlihat lebih ringan dan praktis. Tak perlu pusing-pusing memahami teks-teks di dalam buku yang membahas antah-berantah.

Tak heran, jika setiap tahunnya resolusi Hari Kemerdekaan adalah Indonesia semakin maju. Iya, maju karena bangsanya lupa membaca buku sejarah sehingga lupa menyertai harapan-harapan lainnya yang harusnya lebih penting. Sedikit saja bangsa ini pandai membaca dan memahami, mungkin orang lain lebih pandai bekerja dalam diam daripada sibuk menggaet orang lain untuk menjadi bagian dari dirinya.

Hanya saja, membaca membuat orang lebih indipenden. Sebab, ia paham dengan pilihan dan perbedaan orang lain. Tahu dirilah sekiranya terhadap eksistensinya dan orang lain. Duh, mari kita semogakan semoga yang harus saya tulis ulang setiap saat ini.

Semoga bangsa ini rajin membaca dan memahami ya. Jadi tak percaya sama berita tak penting dan memecah belah persatuan di media sosial yang ditulis “maya” itu. Taka apa bila tak suka membaca dan tak pandai memahami. Karena hidup selalu mempunyai pilihan. Mau berilmu atau tertindas.
Miftahur Rahmi 
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta 

Post Top Ad

Your Ad Spot

Halaman