Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

17 December 2016

Ada Apa dengan “Cantik”?

Baca Juga

cantik

Perihal kesetaraan gender tak henti-hentinya dikampanyekan di berbagai sudut Indonesia untuk mengangkat derajat perempuan. Faktor seksualitas dan kelemahan secara fisik, dua alasan yang selalu mempersempit langkah perempuan di ranah publik maupun keluarga. Sementara sibuk menyetarakan gender, kekerasan perempuan tak pernah usai. Seperti pepatah lama, mati satu tumbuh seribu. Selesai satu kasus, muncul lagi kasus lainnya yang tak kalah runyam.

Berdasarkan temuan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), membagi kekerasan dalam tiga ranah, yaitu ranah personal kekerasan terhadap perempuan sebanyak 321.752 kasus (2015-2016), ranah komunitas sebanyak 5.002 kasus (2015-2016), dan ranah negara terjadinya pemalsuan akta nikah di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur yang tentu saja merugikan pihak perempuan.

Akan tetapi, sering kali dari sekian banyak kejadian tersebut, tetap saja, perempuan yang disalahkan dan disudutkan. Banyak berbagai contoh peristiwa yang sebenarnya seperti memuji, tapi tidakkah itu sebenarnya menyudutkan dan mengelompokkan perempuan? Salah satuannya stereotype bahwa kata “cantik” selalu melekat di embel-embel pemberitaan. Seperti sebuah pemberitaan baru-baru ini, “Seorang Model Cantik Tewas Tanpa Busana”. Tidakkah itu seperti menyudutkan perempuan?

Atau hal-hal lainnya, berbagai prestasi perempuan di nasional atau internasional seperti disorot karena fisik dan parasnya. Jarang sekali, sepertinya, penyorotan terhadap perempuan karena keberhasilan dari segi intelektualitas dan kinerjanya.

Stereotype seperti ini awalnya terjadi di rumah, lingkungan bermain, hingga bacaan anak-anak selalu "menggiring" opini agar perempuan menjadi cantik. Kemudian media menyempurnakan tuntutan ini. Perempuan jika ingin cantik maka pergilah ke salon, perbaiki dandanannya, perbaiki rambutnya, perbaiki sikapnya, dan perbaiki segala macamnya untuk memenuhi beragam tuntutan tersebut. Lalu secara tidak langsung, memunculkan dua kelas di masyarakat. Cantik dan tidak cantik.

Sudah saatnya, orang di seluruh bangsa dan dunia ini memberkati perempuan dengan selayaknya orang-orang yang memiliki potensi dan masa depan. Tidak melalui kekerasan ataupun stereotype kata “cantik” yang ujungnya memilukan.

Begitu pun dengan media. Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan harus mendapatkan pengetahuan selayaknya mereka. Tidak usah muluk-muluk menetapkan standar ini-itu terhadap suatu individu yang nantinya akan memiliki dampak besar. Serta lingkungan, jadilah tempat di mana seharusnya perempuan bisa melakukan dan mengembangkan diri selayaknya apa yang mereka miliki. Tidak menjadi hantu menakutkan bagi sebagian perempuan yang mengalami trauma akibat kekerasan. Pemberitaan di televisi boleh memunculkan berbagai simpatisan atau opini pembelaan di media sosial. Petisi sekali pun. Tapi bagi korban, mungkin dunia sudah menjadi “sehitam-hitamnya”.

Namun, bukankah “dari mata lalu turun ke hati”? Siapa yang membuat ucapan seperti ini yang bisa saja selalu membenarkan?
   

*Miftahur RahmiMahasiswa Jurnalistik
Politeknik Negeri Jakarta

Sumber gambar: cantikkualami.com

Post Top Ad

Your Ad Spot

Halaman