Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

24 November 2017

Membedah "Eksistensialisme" Jean-Paul Sartre

Baca Juga




“Bagaimana menyenangkan orang hanya untuk keinginan pamer”, begitulah perkataan Jean-Paul Sartre yang menjadi bapak dari paham eksistensialisme. Eksistensialisme adalah sebuah paham yang dibangun oleh Jean-Paul Sartre yang menekankan pada kehadiran individu yang bebas dan bertanggung jawab serta mengedepankan nilai – nilai lebih yang terkandung dalam dirinya. 

Jika terlalu rumit dan terlalu filsafat, saya akan berusaha untuk menyederhanakannya. Eksistensialisme dapat diartikan bahwa setiap individu harus terlihat “eksis” atau menonjol diantara orang lain agar keberadaannya atau statusnya diakui. Pengeksistensian diri biasanya dilakukan dengan menjadikan diri sebagai “objek” ketika orang lain menjadi “subjek”.

Eksistensialisme Sartre memang berawal dari hubungan antara manusia yang ia sebut sebagai “konflik”. Menurut Sartre, manusia sering kali menilai dan menjustifikasi orang lain. Ketika orang tersebut sebagai sang penilai, maka ia menjadi “subjek”. Dan jika orang tersebut sebagai yang dinilai, maka orang tersebut menjadi “objek”. Peran manusia pun selalu berganti, kadang menjadi subjek, kadang menjadi objek. Hubungan antar subjek dan objek inilah yang menjadi dasar dari eksistensialisme Sartre. Untuk mendapat hasil dari penilaian yang baik, maka manusia harus terlihat baik ketika menjadi seorang “objek”

Saya coba menjelaskannya dengan analogi sederhana. Ketika seseorang sedang berbicara dengan temannya, maka mereka akan saling menginformasikan tentang nilai – nilai lebih yang terkandung dalam diri mereka. Misalnya, “saya adalah direktur dari perusahaan A” atau “saya telah berhasil memecahkan masalah”. Apa yang menjadi kelebihan akan ditonjolkan sedangkan apa yang buruk atau mengecilkan peran tidak akan dikemukakan.

Pemikiran Sartre soal eksistensialisme ini erat kaitannya dengan kehidupannya saat muda. Sartre kecil, hidup dengan keadaan ekonomi yang baik. Ayah kandungnya seorang perwira militer, yang meninggal tak lama setelah ia lahir. Ibunya adalah seorang guru sastra Jerman. Sebagai anak satu – satunya, Sartre sangat dimanja dan di sayang oleh sang ibu, termasuk kakeknya yang sering memberikannya buku. 

Sartre kecil yang tumbuh dengan dimanja membuat ia sering kali melakukan segala hal agar dipuji. Suatu ketika, ia pernah bersedekah terhadap seorang pengemis hanya karena ingin dipuji oleh kakeknya. Benih – 
benih eksistensialisme Sartre mulai tumbuh sejak dini, ketika ia haus akan pujian. 

Namun, seiring perkembangan dirinya, Sartre mulai masuk ke dunia nyata yang sebenarnya. Matanya yang “juling” membuat ia terkucilkan dari lingkungan. Penolakan terhadap lingkungan semakin menguatkan eksistensialismenya bahwa ia tidak boleh memperlihatkan kekurangan dan menonjolkan kelebihan.     
Nantinya, eksistensialisme Sartre mulai terlihat dengan jelas ketika ia bertemu dengan salah satu cintanya, Simone de Beavoir.     


Ahmad Hidayah 
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia 


Sumber foto : http://www.the-philosophy.com/

Post Top Ad

Your Ad Spot

Halaman