Baca Juga
MINDIS.ID - Oktober lalu, nama Dwi Hartanto mencuat di media. Mahasiswa doktoral asal Indonesia di Technische Universiteit Delft, Belanda itu ramai diperbincangkan. Ia disebut-sebut bergelimang prestasi di dunia aeronautika. Dwi dan prestasinya mendapat sorotan di media, hingga Dwi disejajarkan dengan legenda dirgantara Indonesia, BJ Habibie, dengan menyebutnya sebagai "The Next Habibie".
Dwi Hartanto mengaku sedang menjadi assistant professor bidang aerospace engineering di TU Delft. Nama Dwi semakin meroket setelah mengklaim berhasil merancang dan meluncurkan roket The Apogee Ranger versi 7s (TARAV7s). Ia juga mengaku pernah memenangkan lomba riset teknologi antar-space agency dunia di Jerman serta telah mengantongi tiga hak paten di bidang spacecraft agency.
Tak hanya sampai di situ, Dwi Hartanto juga mengatakan dia sedang melakukan riset di bidang national securuty Kementerian Pertahanan Belanda, ESA, NASA, JAXA, dan Airbus Defence. Ia juga mengaku ditawari untuk pindah kewarganegaraan oleh Belanda dan diajak bertemu oleh BJ Habibie.
Jika kita lihat, tentu prestasi tersebut sangat luar biasa. Dwi Hartanto bisa menjadi harapan baru untuk mengharumkan nama Indonesia di bidang dirgantara seperti B.J Habibie. Namun bagai petir di tengah siang bolong, 7 Oktober, lima lembar surat pengakuan dan klarifikasi dari Dwi Hartanto bertanda tangan di atas meterai dirilis. Rupanya, semua prestasi gemilang itu hanyalah imajinasi semata. Hal ini membuat Kedutaan Besar Republik Indonesia di Belanda mencabut penghargaan untuk Dwi.
Kasus serupa muncul baru-baru ini. Seorang Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) mengungkap kebohongan mahasiswa yang pernah belajar di UI melalui akun Twitternya. Mantan mahasiswa UI yang namanya disamarkan sebagai Krimi ini di-DO saat semester 2 pada 2013 silam. Ia melakukan kecurangan saat ujian semester dan mendapat nilai F di semua mata kuliahnya.
Setelah di-DO dari UI, Krimi mengikuti program pertukaran pelajar salah satu universitas di Malaysia. Dia kemudian diduga melamar sebagai mahasiswa di universitas tersebut dan diterima. Krimi juga diterima bukan sebagai mahasiswa baru tetapi lanjutan dari UI. Padahal jelas-jelas dia sudah di-DO. Krimi diduga memalsukan dokumen resmi seperti ijazah UI dan transkrip nilainya demi memperoleh status mahasiswa di Malaysia
Saat ini, Krimi dikabarkan tengah menjalani sidang tugas akhir atau skripsi. Tapi, rekan-rekan Krimi meragukan skripsi yang telah dibuatnya. Terungkap bahwa dalam skripsi yang dibuat Krimi ada cara tidak benar yang ia lakukan. Kecurangan Krimi saat ini tengah menjadi pembahasan di senat Universiti of Malaya. Senat yang dimaksud adalah dekan, para dosen, dan para jajarannya. Nasib Krimi akan ditentukan setelah investigasi dari pihak senat selesai dilakukan.
Dari dua kisah tersebut, sangat disayangkan orang pintar seperti Dwi dan Krimi harus berbohong terkait prestasinya. Padahal, sosok seperti mereka dapat menjadi contoh bagi generasi muda untuk berprestasi di jenjang internasional. Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Mungkin Dwi dan Krimi hanya berharap untuk jadi sukses dengan cara cepat. Tidak ada yang salah dengan keinginan itu, tetapi cara mereka memperoleh kesuksesan itulah yang salah.
Di dunia akademis, kejujuran itu sangat penting. Apa yang dilakukan Dwi dan Krimi tentu sangat tidak terpuji. Akibatnya, tentu sangat fatal bagi mereka dan sangat membebani dirinya sendiri. Meskipun pelakunya mendapatkan ketenaran, tapi ketenaran itu sangat singkat dan semu. Jika dilihat dari sisi profesional, pasti akan memalukan dirinya sendiri. Bahkan jika sampai ada pihak yang menyewa jasanya, tentunya akan menimbulkan image buruk bagi si penyewa.
Menghadapi kehidupan masa depan yang penuh tantangan, bangsa Indonesia sangat memerlukan anak-anak muda yang cerdas dan pintar. Sebenarnya, cerdas dan pintar saja tidak cukup, tetapi juga harus memiliki etika yang baik dan kejujuran. Apalah artinya kepandaian apabila akhlaknya bobrok. Banyak kasus menunjukkan IQ seseorang yang tinggi tidak selalu identik dengan perilaku yang baik. Dengan demikian, harus ada keseimbangan antara kecerdasan otak dengan kecerdasan moral.
Menjadi cerdas saja tidaklah cukup, namun sikap gigih juga menjadi faktor untuk berhasil. Mereka yang gigih selalu berjuang untuk menyelesaikan apa yang mereka mulai hingga tujuan yang mereka inginkan tercapai. Bagi orang-orang yang gigih, rasa sakit yang dialami selama proses perjuangan akan terbayarkan oleh manisnya keberhasilan saat tujuan telah tercapai.
Banyak cerita mengisahkan bahwa mereka yang sukses tidak hanya berasal dari golongan superpintar dan perjalanannya selalu dipublikasikan. Yang lebih penting adalah tak takut melakukan kesalahan dan merasakan kegagalan. Kita semua pada umumnya terlahir cerdas, namun yang paling menentukan adalah sikap gigih kita menggunakan potensi kecerdasan tersebut agar kelak menjadi berhasil.
Dari kisah Dwi dan Krimi, kita dapat memetik beberapa nilai kehidupan yaitu untuk selalu rendah hati. Mimpi yang telah tercapai tidak seharusnya membuat kita merasa lebih tinggi derajatnya dari orang lain. Sikap rendah hati perlu selalu ditanamkan dalam diri karena sebenarnya kesuksesan itu bukan untuk mencari pujian orang lain. Melainkan untuk kepuasan dalam diri, bahwa sebenarnya kita mampu untuk melakukan sesuatu dari jerih payah kita.
Pada akhirnya, kecerdasan intelektual dan emosional, kemauan bekerja keras, serta kepandaian membuat skala prioritas, harus disempurnakan sikap penuh rendah hati. Meskipun berotak cerdas, bukan berarti kita bisa bersikap jumawa. Mau terus belajar dan tidak bosan mencari tahu berbagai hal adalah modal utama untuk kita yang memimpikan keberhasilan.
Dalam perjalanan kariernya, orang-orang paling sukses tidak selalu menghadapi jalan lurus. Sesekali mereka juga melakukan kesalahan atau bahkan membuat kegagalan. Akan tetapi sikap tidak mudah menyerah dan mau terus berusaha menjadikan kegagalan bukanlah alasan untuk menyerah, melainkan berusaha melakukan hal yang lebih baik lagi nantinya.
Nurimah Kurniasih
Politeknik Negeri Jakarta
Sumber gambar: qerja.com