Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

08 November 2017

Lebih Dekat dengan Pemikiran Politik Plato

Baca Juga



MINDIS.ID - Dalam memahami pemikiran politik Plato, alangkah baiknya jika melihat kondisi sosial politik saat ia hidup. Sebab, pemikiran-pemikiran seseorang sering kali dilatarbelakangi oleh kondisi sosial politik yang mereka alami semasa hidup.  

Plato dilahirkan di zaman Yunani Kuno, tepatnya pada 428 SM.  Plato hidup di dalam sebuah negara yang biasa disebut dengan istilah negara kota. Athena pada saat itu dikatakan sebuah negara karena wilayah tersebut memiliki aturannya sendiri, budaya sendiri, dan identitasnya sendiri layaknya sebuah negara. Namun wilayahnya yang tidak terlalu besar dan jumlah penduduknya yang sedikit membuat ia kata negara menjadi sedikit kurang layak untuk disematkan. Oleh karena itu, di belakang kata negara ditambah kata kota sehingga kini disebut dengan negara kota.  

Negara kota tempat Plato hidup tidaklah sama dengan konsep negara atau kota di zaman sekarang ini. Perbedaannya terletak pada tidak adanya pembeda tegas antara masyarakat dengan negara. Negara adalah masyarakat dan masyarakat adalah negara.  Tidak adanya pembatasan ini disebabkan oleh sistem demokrasi langsung (direct democracy) yang diterapkan. Sistem ini dimungkinkan karena dua hal, yang pertama adalah setiap warga Athena memiliki kebiasaan untuk berdiskusi dan berkumpul dalam menentukan sesuatu, sehingga setiap warganya memiliki peran dalam pengambilan kebijakan. Yang kedua adalah jumlah penduduk yang sedikit, atau sekitar 30.000 orang, membuat pengambilan keputusan yang melibatkan setiap orang dalam negara kota menjadi mungkin untuk dilakukan. 

Karena masyarakat adalah negara dan negara adalah masyarakat, maka masyarakat Athena dianggap begitu penting karena sistem kenegaraan bergantung pada pemikiran mereka. Menurut Sabine and Thonston dalam bukunya A History of Political Theory dijelaskan bahwa warga negara yang telah mencapai 20 tahun diwajibkan untuk menjadi anggota sidang Ecclesia, suatu forum kenegaraan di mana peraturan-peraturan bernegara dirumuskan.      

Konsep Demokrasi langsung yang diterapkan oleh pemimpin Athena pada masa itu, Pericles, menyebutnya dengan istilah Athenian Democratia. Demokrasi Athena yang diterapkan oleh Pericles memiliki beberapa kriteria, di antaranya adalah pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat secara langsung, kesamaan di depan hukum, pluralisme, dan penghargaan terhadap kebebasan berekspresi. 

Di bawah kepemimpinan Pericles, Athena mengalami masa kejayaan akibat kemenangannya terhadap Persia. Namun, masa kejayaan Athena runtuh akibat perang dengan Sparta atau yang disebut dengan Perang Peloponnesos (431–404 SM).  Kekalahan Athena dengan Sparta karena Sparta dengan sistem militer aristokrasinya selalu siap dalam berperang. Hal ini berbeda dengan Athena yang tidak menerapkan sistem militer kepada masyarakatnya. 

Negara dan Masyarakat dalam Pemikiran Plato 

Plato lahir di era demokrasi langsung ala Pericles dijalankan. Ia adalah salah satu pengkritiknya. Menurutnya, salah satu hal yang membuat Athena hancur adalah demokrasi langsung. Plato melihat ada pencampuran antara kepentingan individu, negara, dan masyarakat. Plato tidak menafikan harus ada keselarasan kepentingan antara individu dengan negara dan masyarakat, namun keselarasan ini bukanlah untuk menyamakan kepentingan negara dengan individu tetapi sebaliknya, kepentingan individu harus sejalan dengan kepentingan negara.    

Dalam konsep bermasyarakat, Plato mengedepankan nilai-nilai keadilan. Dalam bukunya, Republik, Plato menuliskan percakapan antara Socrates dan salah seorang sufis yang menjelaskan konsep keadilan. Menurutnya, keadilan ada jika setiap individu menjalankan tugas sebagai mana fungsinya.  Plato mengibaratkan negara, masyarakat, dan individu sebagai sebuah kesatuan dalam tubuh. Jika ada salah satu bagian yang sakit dan tidak menjalankan fungsinya, maka keseluruhan itu akan sakit.  

Dalam berkehidupan sosial, Plato menentang adanya kepemilikan individu. Menurutnya, adanya kepemilikan individu akan membuat seseorang akan mementingkan kepentingan diri sendiri terlebih dahulu dan mengesampingkan kepentingan bersama. Selain itu, Plato juga beranggapan bahwa hak kepemilikan pribadi akan menimbulkan penyakit di dalam masyarakat misalnya seperti kecemburuan sosial, kesenjangan sosial dan membuat orang lain berlomba-lomba dalam menumpuk kekayaan.   

Dalam konteks ini Plato terlihat mengedepankan konsep komunisme dan kolektivisme atau kepemilikan bersama. Uang, anak, dan wanita adalah milik bersama, milik negara. Anak yang baru lahir tidak boleh diasuh oleh orang tua mereka, sebab Plato menentang adanya keluarga. Plato menganggap anak yang tidak mengetahui orang tuanya akan hidup dan mati demi negaranya. Mereka akan digembleng dengan ilmu pengetahuan dan secara fisik dalam akademi militer. Inti dari pemikiran Plato adalah antikepemilikan individu.    

Menurut Plato, negara ideal menganut prinsip mementingkan kebajikan (virtue). Kebajikan menurut Plato adalah ilmu pengetahuan. Apa pun yang dilakukan atas nama negara haruslah dimaksudkan untuk mencapai kebajikan. Oleh karena itu, ia membangun sebuah lembaga pendidikan yang ia beri nama Academi. Plato menilai bahwa tidak ada jalan yang lebih efektif daripada membangun lembaga-lembaga pendidikan agar masyarakat menguasai ilmu pengetahuan dan membawa kebajikan.  

Plato juga dikenal sebagai tokoh yang anti-demokrasi. Pemikiran Plato yang anti-demokrasi disebabkan karena kekecewaannya atas kehancuran Athena yang saat itu mengagungkan nilai-nilai demokrasi dan individualistis. Kehancuran Athena atas Sparta menandakan kemenangan aristokrasi-militeristis atas demokrasi yang dianggapnya tidak stabil.  Oleh sebab itu, Plato menganggap demokrasi tidak lebih baik dari aristokrasi.   

Pemimpin Ideal Menurut Plato (Philosopher King)

Demi terciptanya negara dan masyarakat ideal seperti apa yang dicita-citakan Plato yang mengedepankan ilmu pengetahuan ada pada diri seorang filsuf. Pendapatnya ini berpangkal pada pendirian bahwa pengetahuan yang sebenarnya yaitu kebajikan (virtue) hanya bisa diperoleh dari seorang filsuf. 

Menurut Plato, orang yang berhak memimpin suatu negara adalah orang yang menguasai seluruh ilmu pengetahuan. Ia menyebut orang yang memiliki kriteria ini dengan sebutan raja filsuf atau philosopher king.  Plato mengibaratkan philosopher king layaknya seorang dokter yang dapat melihat penyakit di dalam tubuh masyarakat dan dapat mengobati penyakit tersebut. Dokter yang dapat mengetahui penyakit masyarakat ini pastilah orang yang menguasai seluruh ilmu pengetahuan.  

Jika mengacu pada Konsepsi Gua Plato, maka seorang pemimpin harus dapat membawa orang-orang yang di dalam gua, atau orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, untuk mengetahui pengetahuan yang sebenarnya atau yang disebut dengan kebajikan. Maka hal yang paling penting adalah seorang pemimpin harus dipercaya oleh rakyatnya sehingga pemimpin dapat membawa masyarakatnya keluar dari gua dan memperoleh kebenaran yang sesungguhnya. 
   
Ahmad Hidayah 
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia 

Sumber Gambar: https://i.ytimg.com


Sumber Bacaan: 

1. Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat 
2. Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat
3. Plato, Republik  
4. Sabine and Thonston, A History of Political Theory 


*Tulisan ini sudah dijadikan makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Politik Barat 

Post Top Ad

Your Ad Spot

Halaman