Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

20 November 2017

Pelemahan Hukum Akibat Budaya Main Hakim Sendiri

Baca Juga

main hakim sendiri

 
MINDIS.ID - Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi yang berlandaskan hukum. Sudah sepantasnya hukum menjadi jalan utama jika terjadi pelanggaran. Namun, untuk melakukan proses hukum tentu harus sesuai peraturan dan prosedur yang berlaku.

Sekarang ini, budaya main hakim sendiri semakin marak. Seharusnya pola pemikiran masyarakat sudah terbuka dalam menyikapi suatu masalah. Namun, kita masih dapat menemukan beberapa kasus main hakim sendiri di Indonesia.

Beberapa waktu lalu masyarakat dihebohkan oleh peristiwa pembakaran seorang pria yang dituduh mencuri amplifier masjid di Bekasi. Kejadian yang viral di media sosial mengundang banyak respons dari warganet. Banyak yang menyayangkan sikap masyarakat yang mengadili seenaknya, bahkan hingga merenggut nyawanya. Belakangan, terbukti pria tersebut tidak bersalah sama sekali.

Kasus lain terjadi baru-baru ini, sepasang kekasih dituduh berbuat mesum di kontrakan. Warga sekitar yang menuduh mereka langsung menggerebek kemudian melucuti pakaian mereka secara paksa lalu mengaraknya keliling lingkungan. Pasangan itu dipaksa untuk mengaku bahwa mereka sedang melakukan tindakan mesum. Setelah diselidiki, rupanya kedua pasangan tersebut tidak sedang berbuat mesum, sang pria hanya sedang mengantarkan makanan ke kontrakan sang wanita.

Main hakim sendiri timbul akibat masyarakat merasa bahwa mereka benar. Masyarakat merasa hukuman yang diberikan oleh penegak hukum tidak sesuai dengan apa yang telah diperbuat pelaku kriminal, karena alasan inilah masyarakat lebih baik bermain hakim sendiri untuk memberikan sanksi yang menurut pandangan mereka sesuai dengan perbuatan sang pelaku.

Dalam menghadapi tindak kejahatan yang meresahkan masyarakat, aparat kepolisian sebetulnya sudah melakukan tindak tegas. Kita dapat melihat dari berita yang beredar, tidak sekali-dua kali polisi terpaksa menembak begal, pengedar narkoba, atau pelaku kriminal lain yang berani bertindak macam-macam. Mereka mengejar para kriminal itu dan mengadili seadil-adilnya sesuai hukum yang berlaku. Akan tetapi, hal itu tampaknya dinilai masih belum cukup memuaskan masyarakat. Ada kesan kuat bahwa masyarakat sekarang lebih memilih melakukan pengadilan di jalanan, menghukum sendiri pelaku kejahatan yang tertangkap basah.

Main hakim sendiri terhadap pelaku kriminal tidak mencerminkan masyarakat yang demokratis. Seolah-olah citra demokrasi yang ada di Indonesia ini nyaris runtuh dan tidak ada artinya lagi. Hanya karena sebuah konflik yang belum jelas kebenarannya, masyarakat berani melakukan tindak kekerasan yang tidak berperikemanusiaan.

Padahal, dalam menyelesaikan sebuah konflik, kita sudah memiliki wadah yang tepat yaitu lembaga hukum. Namun, masyarakat seakan tidak menaruh kepercayaan pada lembaga hukum dan peraturan yang berlaku. Terlepas dari salah atau tidaknya pelaku, mereka tetap harus dibawa ke pihak yang berwajib untuk pemeriksaan sehingga kasus dapat ditangani dengan tepat.

Main hakim sendiri terjadi karena adanya anggapan masyarakat bahwa hukum yang ditetapkan tidak setimpal dengan perbuatan yang dilakukan, keadilan yang ada dalam hukum Indonesia sangat minim, serta kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum di Indonesia.

Psikologis masyarakat yang belakangan dihadapkan pada realitas sosial berupa beban hidup yang semakin berat, membuat emosi tidak terkontrol. Hal tersebut memicu masyarakat menyalurkan emosi di tempat yang salah dan berujung menghilangkan nyawa orang lain. Namun, apa pun alasannya, tindakan pengeroyokan dan pembakaran tidak dapat dibenarkan.

Jika demikian, siapa yang salah dan bertanggung jawab atas kekurangtahuan masyarakat akan hukum? Apakah pemerintah? Apakah masyarakat sendiri? Lantas, apa gunanya kita memiliki lembaga hukum? Kita tidak bisa menyalahkan salah satu, tetapi harus saling berkontribusi untuk menegakkan hukum di Indonesia menjadi negara yang taat akan hukum.

Pada dasarnya, para pelaku kriminal adalah orang yang butuh pembinaan. Bukan dihabisi dengan cara kekerasan yang tidak manusiawi. Penyelesaian konflik harus melibatkan berbagai pihak, bukan dari keputusan individu yang berujung ke arah pelampiasan nafsu.

Yang dibutuhkan sebenarnya bukan penyelesaian yang cepat, namun penyelesaian yang tepat. Kunci dari penyelesaian yang tepat ini adalah dengan kesabaran dari berbagai pihak dan kesadaran akan adanya hukum di negara ini.

Sebetulnya, masyarakat hanya butuh perlindungan dari aksi kejahatan yang sangat meresahkan. Tetapi jika kebiasaan main hakim sendiri terus menjadi budaya, tentu akan merusak tatanan hukum yang berlaku dan menggeser nilai-nilai keadilan, kemanfaatannya bagi masyarakat, dan kepastian hukum.

Ada baiknya masyarakat lebih berpikir terbuka dalam menghadapi kasus yang terjadi di sekitar. Apabila main hakim sendiri lalu korban tersebut tidak bersalah, tentu akan merugikan orang lain dan diri sendiri. Para pelaku main hakim sendiri dapat dikenakan ancaman hukuman pidana.

Tindakan main hakim sendiri dapat diatasi dengan berbagai cara. Pertama, mempererat komunikasi antarpenegak hukum dengan masyarakat. Beri kesadaran akan pentingnya penegak hukum bagi keamanan masyarakat. Intensitas komunikasi antara penegak hukum dengan masyarakat akan meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum di negeri ini. Hal ini juga akan mempermudah komunikasi antara masyarakat dengan pihak berwajib.

Kedua, penegakan hukum yang tegas dan transparan. Penegakan hukum yang jelas atau sesuai dengan standar hukum yang berlaku akan memberikan kepuasan kepada masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan para penegak hukum. Transparansi ini akan semakin meningkatkan kepercayaan masyarakat karena mereka tidak akan merasa dikecewakan. Jika ketidakadilan dilakukan maka hanya akan menyulut kemarahan masyarakat yang melahirkan kekerasan sebagaimana sudah kita lihat di media massa selama ini.

Komunikasi antara pihak berwenang dengan masyarakat menjadi kunci ketertiban di negeri ini. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pihak berwajib (Polisi ataupun ABRI) menginisiasi adanya komunikasi yang harmonis dengan masyarakat. Kemudahan komunikasi ini akan memberikan rasa aman kepada masyarakat yang melahirkan kepercayaan terhadap penegak hukum di negeri ini.


Nurimah Kurniasih
Politeknik Negeri Jakarta

Sumber gambar: mediaindonesia.com

Post Top Ad

Your Ad Spot

Halaman