Baca Juga
Dalam memenuhi kebutuhan hidup, sudah barang tentu kita harus membeli sesuatu jika hal itu tidak kita miliki. Di sini hal yang perlu kita garis bawahi, tidak kita miliki. Jadi, saat kita memerlukan itu dan kepemilikan atas hal tersebut perlu kita kuatkan, maka kita akan membayarnya. Jelas, kita membayar apa yang kita beli. Kita membayar untuk apa yang tidak kita miliki agar bisa kita miliki.
Mengenai kepemilikan, pernahkah kita mempersoalkannya? Jelas! Pertikaian bisa terjadi hanya karena masalah kepemilikan. Jadi, jika kita ingin memiliki sesuatu, bayarlah! Sayangnya, masalah bayar-membayar ini menjadi kompleks saat kita dihadapkan pada sesuatu yang kepemilikannya tidak bisa kita rasakan secara konkret.
Jangan berkilah, Anda merasa lebih puas membeli sebuah buku yang bisa Anda pegang wujudnya ketimbang membeli buku elektronik yang tersimpan di akun Anda. Uang yang Anda keluarkan untuk membayar buku fisik lebih terasa kebergunaannya daripada saat Anda membeli buku elektronik. Ternyata, eksistensi barang berpengaruh terhadap kepuasan batin saat kita membeli sesuatu.
Lain halnya dengan jasa. Meski secara eksistensi tidak ada, namun kepuasan batin kita dapatkan ketika jasa yang kita bayar itu berpengaruh secara signifikan kebermanfaatannya terhadap diri kita. Kita rela membayar jutaan rupiah per bulan untuk orang yang mau bersusah payah membereskan dan membersihkan rumah kita. Kita mau saja membayar orang lain yang sudah mengantar kita dari satu tempat ke tempat lain. Karena kebermanfaatannya jelas bagi kita, kita sudah dimudahkan oleh mereka. Kebermanfaatan dan kemudahan yang kita rasakan secara langsung inilah yang kemudian membuat kita merasa puas untuk membayar mereka.
Lalu apa yang terjadi ketika kita mengeluarkan uang untuk sesuatu yang secara fisik tidak terlihat? Atau, membayar jasa yang dampaknya tidak berimbas langsung terhadap diri kita? Relakah kita mengeluarkan sejumlah uang untuk hal tersebut?
Sejak 2015, saya mencoba membangun sebuah penerbitan digital. Produk yang diterbitkan berupa buku elektronik yang bisa diakses di mana saja dan kapan saja melalui ponsel pintar yang Anda miliki. Di tahun 2018, saya menerbitkan dua novel sekaligus melalui penerbitan saya ini. Satu saya terbitkan secara gratis, sedangkan satu lagi saya banderol seharga buku fisik yang tersebar di pasaran. Selama satu tahun berjalan, saya tercengang melihat data yang masuk ke penerbitan saya. Novel yang saya terbitkan secara gratis, telah diunduh oleh lebih dari 18.000 pembaca. Sedang novel saya yang berbayar, hanya diunduh oleh satu pembaca saja. Jelas ketimpangan ini menyedihkan. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk menggratiskan buku tersebut. Baru satu bulan digratiskan, buku saya sudah terunduh sebanyak 300-an. Ternyata benar, kalau ada yang gratis, ngapain bayar?
Saya setuju dengan pernyataan itu. Kawan, nyari duit itu susah! Betul. Tapi pernahkah kita berpikir, bahwa pada dasarnya kita tidak bisa membeli segalanya. Saat kita membeli buku, kita bukan hanya membeli kertasnya. Ada royalti penulis di harga buku tersebut. Ada hak penulis yang kita berikan karena si penulis telah mengabdikan dirinya, menghabiskan waktu dan tenaganya, meluangkan pikirannya, hingga kemudian menuangkan gagasannya ke dalam bentuk tulisan. Mereka merelakan diri menulis untuk dibaca. Bacaan yang dihasilkannya, kemudian berkontribusi bagi ilmu kita, wawasan kita, dan pola pikir kita. Pengorbanan mereka perlu kita hargai dengan banyak cara, salah satunya dengan uang.
Para pembajak buku tak memperhitungkan hal itu. Mereka bisa menjual buku dengan murah karena mereka hanya menjual kertas saja. Tak ada penghargaan bagi sang penulisnya. Bukan hanya para pembajak, mereka yang gemar mengakali buku elektronik berbayar menjadi gratis dan kemudian menyebarluaskannya ke media sosial apa pun, juga tak ada bedanya. Merekalah pembaca sekaligus pembunuh bagi penulis.
Kasus seperti itu sebenarnya tidak hanya berlaku bagi penulis, tapi juga bidang lainnya. Pengajar ngaji misalnya. Saya ingat betul orang tua saya sering menitipkan uang minyak sebagai ganti uang bayaran. Benar, agama memang tidak boleh diperjualbelikan. Tapi para guru ngaji ini juga perlu dihargai atas pengorbanan mereka dalam menuntut ilmu bertahun-tahun hingga mumpuni mengajar anak siapa pun. Begitu juga para seniman, programer, dan lainnya. Saat kita menikmati kontribusi mereka, seyogianya ada hak mereka yang perlu kita hargai.
Sekarang, kita dihadapkan pada tiga dimensi; dimensi dunia, dimensi akhirat, dan dimensi maya (internet). Kehadiran satu dimensi yang saya sebutkan terakhir tadi, secara nyata membuat disrupsi dalam kehiduan kita; disrupsi dalam ruang dan eksistensialitas. Dan jelas, kita memerlukan paradigma berpikir yang tak lagi sama dengan era sebelumnya. Jangan berpikir bahwa membayar berarti membeli. Karena membeli, berarti memiliki. Namun cobalah untuk menerima bahwa mengeluarkan uang bukan berarti membayar. Anggaplah sedekah. Sedekah bagi mereka yang telah meluangkan daya dan upayanya untuk kita rasakan manfaatnya. Jika sudah begini, maka tidak perlu lagi ada kata uang minyak untuk guru ngaji, uang tinta untuk para penulis, uang ngamen untuk para pelaku seni, uang kopi untuk para programer, dan kata lainnya, hanya agar uang yang kita keluarkan terasa kebermanfaatannya.
Tidak semua bisa dibeli dengan uang, tapi uang bisa membeli yang kita butuhkan. Kita tidak bisa membeli keahlian seseorang, tapi sang ahli membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhannya. Kita bisa saja bekerja dan berdagang untuk mendapatkan uang, tapi saat semua orang bekerja dan berdagang, siapa yang akan berkarya? Kita adalah manusia yang saling mengandalkan satu sama lain. Biarkan kita berperan sesuai kapasitas kita masing-masing. Menghargai, adalah jalan yang paling baik untuk membentuk keharmonisan hidup. Sudahkah Anda menghargai hak para pencipta karya yang telah berkontribusi di hidup Anda?
Nicky Rosadi
dosen, peneliti, penulis