Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

20 October 2017

Generasi Millenial dan PKI "PHOBIA"

Baca Juga



Pada beberapa minggu ini publik dihebohkan dengan adanya kembangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI).PKI atau ideologi Komunisme selalu dinyatakan sebagai bahaya laten yang terus menerus diwaspadai dan dimusuhi sebagai musuh bersama bahkan terlebih-lebih menjadi “PKI Phobia”. Pemikiran ini direproduksi melalui pendidikan pada masyarakat dan terlebih lagi ketika proses edukasi ini terjadi hanya menggunakan komunikasi satu arah tanpa adanya peranan untuk berdialog dan diskusi melihat secara berimbang tentang PKI dan Komunisme. Seolah-olah dalam ranah akademis selalu ada hal tabu dan perasaan ketakutan. Akibatnya penerimaan masyarakat selalu mengatakan bahwa kebangkitan PKI merupakan sesuatu hal yang nyata dan suatu saat akan melakukan upaya kudeta kembali.

Disinilah pentingnya edukasi dan peningkatan minat baca bagi masyarakat terutama generasi millennial Indonesia mengenai sejarah pergerakan dan pemikiran di Indonesia. Pada hari ini kita melihat bahwa informasi dapat diakses dengan sangat mudah dan sangat terbuka melalui jejaring dunia maya dan media daring. Disisi lain keterbukaan informasi ini dianalogikan sebagai dua sisi mata uang karena terdapat sisi positif dan negatif, sisi positifnya cepatnya penerimaan sumber informasi dan sisi negatifnya informasi yang begitu banyak seringkali menimbulkan tindakan provokasi dan intimidasi pada satu kelompok tertentu.

Komunisme sebagai Ideologi dan PKI sebagai Institusi

Perlu dipahami bahwa ideologi Komunis sendiri merupakan buah pemikiran dari seorang manusia bernama Karl Marx. Marx pada bukunya berjudul Das Capital menekankan pada adanya dialektika materialisme dan historis tentang perkembangan manusia, bahwa sesungguhnya pola hubungan manusia ini berdasarkan kepemilikan materi. Pada berkembangannya di era industrial kelompok borjuasi para pemilik modal/alat produksi melakukan eksploitasi terhadap kelompol proletar yang tidak memiliki modal. Eksploitasi ini mendapatkan apa yang disebut Marx sebagai surplus value bagi kaum borjuis sebagai implementasi dari pemikiran kapitalisme dengan memaksimalkan berbagai potensi untuk keuntungan sebesar-besarnya. Untuk menghancurkan kapitalisme dan membuat adanya perubahan hidup pada kelas proletar Marx menjelaskan adanya Revolusi yang dilakukan oleh kelas proletar untuk merebut kepemilikan alat-alat produksi tersebut guna menciptakan masyarakat tanpa kelas sebagai jalan menuju masyarakat tanpa negara dan menjadi Komunisme total.

Pada pemahaman berikutnya yang berkembang secara umum pada masyarakat dan perlu diketahui oleh generasi millennial adalah terhadap kegagalan paham dengan menyamakan komunisme dengan atheism. Inilah pemahaman umum yang juga selalu direproduksi oleh institusi pendidikan. Perlu dipahami bahwa komunisme dan atheism tidak sama, memang benar ada sebuah statement dari Karl Marx yakni Religion is opium for the people yang dipandang bahwa komunisme tidak mengakui ketuhanan dan menyamakan komunisme dengan atheisme. Padahal pendekatan ilmu sosial berbeda dengan pendekatan ilmu alam, pada ilmu sosial kita berbicara konteks dimana setiap tempat dan wilayah memiliki konteks yang berbeda. Artinya dari sini bisa dipahami bahwa statement tersebut lahir karena adanya praktek para pemuka agama dengan kelas borjuasi di Eropa yang bekerja sama untuk mengeksploitasi kelas proletar. Pemahaman secara utuh ini perlu dipahami sebagai upaya melihat bagaimana sebuah ideologi berkembang di masyarakat.

Sejatinya cara pandang Islam dan Komunisme dapat disatukan melalui sebuah pemahaman bahwa mereka mempunyai musuh bersama tetapi penyebutan nama berbeda. Kapatalisme sebagai musuh Komunisme sejatinya adalah musuh Islam pula dalam hakekatnya tidak lainlah daripada riba sepanjang faham islam. Pada kenyataannya ini sama dengan pemaknaan surplus value seperti yang dikemukakan Marx. Oleh karena itu perlu dipahami disini bahwa terdapat elaborasi antara pemikiran Komunisme dan Islam itu sendiri, tetapi banyak dari masyarakat mengesampingkan hal ini dan selalu menganggap Komunisme tidak bertuhan.

Perlu dipahami bahwa sebagai intitusi PKI yang berideologikan Komunis ini termasuk dari 4 partai besar peraih suara pemilu tahun 1955. Kaderisasi dan displin organisasi yang dilakukan oleh Comite Central PKI dibawah D.N Aidit, Lukman, dan Nyoto kemudian mampu melakukan transformasi kepartain yang sangat baik. Meskipun pada tahun 1948 sempat terjadi konflik antara PKI dengan Pemerintahan Menteri Perdana Mohammad Hatta, namun kombinasi kepemimpinan CC PKI ini yang membuat perkembangan signifikan dan mampu menduduki kursi di parlemen. Melalui Underbownya PKI mampu meraih simpati rakyat di kalangan kelas menengah kebawah.

Disamping itu banyak juga dari kalangan pemerintahan baik sipil dan militer juga bersimpati dengan PKI. Transformasi PKI yang begitu cepat ini membuat kekhawatiran di tubuh militer terutamanya Angkatan Darat, Angkatan Darat merasa pengaruh politiknya tersaingi inilah yang menjadi akar masalah konflik diantara keduanya terlebih lagi ketika Indonesia dibawah kepemimpinan Bung Karno pada masa Demokrasi Terpimpin. PKI adalah partai politik yang bertahan dari upaya pemerintah yang disebut “penguburan partai-partai politik”. 

Perseteruan diantara Angkatan Darat dengan PKI berakhir pasca peristiwa G30S/Gestok yang disebut-sebut sebagai upaya kudeta oleh PKI. Dengan itu Angkatan Darat mempunyai legitimasi melakukan tindakan represif dan pembubaran terhadap segala macam aktivitas yag dilakukan oleh PKI. Hingga pada era Orde Baru, PKI/Komunisme tetap menjadi musuh bersama dengan pelarangan ajaran Komunisme/Marxisme dan dilegitimasi dengan dikeluarkannya Tap MPRS Nomor 25 1966. Bentuk penanaman ketakutan itu kemudian direproduksi melalui film G30S/PKI oleh rezim orde baru sebagai bagian bentuk “edukasi” kepada masyarakat untuk selalu mewaspadai PKI/Komunisme beserta organisasi-organisasi yang dianggap berbahaya.

Namun yang menjadi ganjal hingga saat ini. Pertama, kenapa saat itu Resimen Tjakrabirawa pimpin Letkol. Untung menargetkan penculikan disertai pembunuhan terhadap para Jendral-Jendral Angkatan Darat?. Kedua, apakah penculikan para perwira senior (Para Jendral) yang dilakukan oleh Letkol. Untung merupakan bentuk konflik pada tubuh Angkatan Darat itu sendiri? . Ketiga, jika merupakan upaya kudeta terhadap presiden Soekarno lantas kenapa Presiden yang harus bertanggung jawab kepada MPRS dengan judul pidato “NAWAKSARA”? . Keempat, apakah isu PKI ini selalu menjadi ritual tahunan dan seolah menjadi “PHOBIA” yang tak berkesudahan dan terlebih semakin massive ketika mendakati Pemilihan Umum?

Peran Generasi Millenial 

Komposisi penduduk Indonesia hari ini dengan situasi lima tahun yang lalu berbeda. Penduduk Indonesia yang berusia 15-34 tahun memiliki jumlah 35% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2015. Mereka adalah penduduk yang memiliki tahun kelahiran antara 1980-2000an atau yang disebut sebagai Generasi Millenial. Mereka memiliki daya beli yang cukup tinggi serta memiliki pengetahuan dan akses informasi yang begitu banyak dan cepat. Pertumbuhan generasi millennial semakin lama akan semakin cepat dan bertambah secara signifikan.

Generasi ini menurut Hassanudin Ali memiliki tiga ciri dan karakter. Pertama adalah confidence (percaya diri) mereka sangat percaya diri mengemukakakn pendapatnya di ranah publik dan tidak sungkan untuk berdebat baik di dunia maya atau dunia nyata. Kedua, creative (kreatif) mereka adalah orang-orang yang berpikir diluar kebiasaan dan memiliki inovasi-inovasi baru. Ketiga, connected (terhubung satu dengan lainnya) jejaring pertemanan yang didukung oleh media sosial memungkinkan mereka untuk berinteraksi dengan berbagai komunitas tanpa batas.

Penjelasan mengenai generasi millennial tersebut setidaknya memberikan gambaran bahwa isu mengenai PKI atau “PKI PHOBIA” dalam masyarakat perlu dijadikan sebuah diskusi dan pembelajaran bagi generasi sekarang dan akan datang. Jangan sampai ada upaya intimidasi pada ruang-ruang diskusi dan edukasi apabila membahas isu-isu tertentu. Disamping itu generasi millennial dengan berbagai kelebihannya tentu harus mampu melakukan tindakan analisis terhadap sebuah masalah atau isu tertentu yang berkembang di masyarakat. Diskursus tentang Komunisme dan PKI jangan jadikan sebagai sebuah alasan tentang adanya kebangkitan PKI.

Pola pikir dan paradigma masyarakat hari ini harus berubah kearah yang menumbuhkan sikap kritis pada masalah-masalah sosial. Pola pikir dan perubahan paradigma itu dapat ditingkatkan dengan peningkatan minat baca dan dalam ruang akademik jangan ada lagi perasaan tabu membicarakan isu atau masalah-masalah tertentu. Terutama pembahasan tentang sebuah ideologi yang merupakan buah pikir manusia.

Akhirnya dari sini kita perlu tahu bahwa pentingnya belajar sejarah dan membaca, sebab pola masa depan ditentutkan bagaimana kita mempelajari sejarah di masa lalu dan sebagai muslim “iqra” (membaca) adalah syarat mutlak bagi sebuah generasi untuk maju dan mengembangkan diri. Semoga generasi millennial mengambil peranan penting dan selalu paham akan akar sejarah bangsanya dan tidak mudah terprovokasi terhadap isu-isu murahan yang menjadi ritual tahunan. Karena tantangan kedepan tak lagi soal PKI tapi soal isu-isu radikalisme atas nama SARA yang mengancam identitas kita sebagai negara dan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Mohammad Darry 
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia 


Sumber gambar : TheJakartaPost.com

Post Top Ad

Your Ad Spot

Halaman