Baca Juga
Tanggal 11 Oktober 2017 publik dikejutkan dengan serangan massa pada kantor Kementrian Dalam Negeri di Jakarta Pusat menyebabkan beberapa pegawai Kemendagri terluka serta rusaknya beberapa invetaris kantor. Serangan ini membawa permasalahan karena dilakukan pada wilayah strategis yang berdekatan dengan istana negara dan juga penyerangan ini dikarenakan akibat dari ketidakpuasan kelompok tertentu pada Pemilukada di Kabupaten Tolikara Provinsi Papua. Massa yang mengatasnamakan Barisan Merah Putih pendukung calon bupati John Tabo –Barnabas Weya merasa tidak puas dengan keputusan hasil dari
Mahkamah Konstitusi, dialog yang gagal dengan pihak Kemendagri pun akhirnya berujung pada kerusuhan Melihat akar masalah Pemilukada di Provinsi Papua dan Papua Barat sebenarnya sudah sering terjadi akibat ketidakpuasaan dari pihak yang kalah, namun ekskalasi konflik terjadi pada penyerangan kantor Kemendagri tersebut. Pada tahun 2017 ini pemilukada serentak di 11 kabupaten/kota di Provinsi Papua, 8 diantaranya harus diselesaikan melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Situasi ini tentu membuat instabilitas keamanan di internal masyarakat Papua serta memburuknya hubungan Pemerintah Papua dengan Pemerintah Pusat. Instabilitas keamanan pada masyarakat tersebut didasarkan pada seringnya aksi bentrokan secara fisik diantara masa pendukung calon kandidat yang kemudian membuat aparat keamanan harus terlibat secara aktif dalam menyelesaikan pihak-pihak yang bersengketa. Disamping itu tingginya angka gugatan hasil pemilukada Papua yang harus diselesaikan di MK menyebabkan adanya deligitimasi kekuasaan di Papua.
Pelaksaan pemilukada secara langsung inilah yang menjadi masalah karena seringkali dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Permasalahan yang pertama adalah ketidaksiapan sistem pemilukada di Papua menggunakan pola pemilihan pilkada secara langsung, pada kenyataanya beragamnya etnisitas di Papua menyebabkan sering timbulnya konflik horizontal di dalam masyarakat karena perbedaan etnis serta budaya contoh pada peneriaman pemilihan sistem noken, tidak semua menggunakan sistem noken hal inilah yang dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan manipulasi dan kecurangan.
Permasalahan yang kedua faktor geografis di setiap kabupaten di Papua membuat kesulitan penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU melaksanakan tugasnya. Proses pelaksanaan serta pengawasan di setiap distrik-distrik di Papua sering mengalami hambatan karena bentang alam yang begitu sulit, beratnya medan hingga keterjangkaun yang sulit bahkan hanya bisa dijangkau melaui jalur udara. Akibatnya sering ada masalah mengenai pemungutan suara disetiap distrik, karena tidak semuanya dilakukan pemungutan suara.
Permasalahan yang ketiga adalah minimnya akses informasi dan komunikasi di setiap kabupaten karena keterbatasan sinyal internet maupun telpon seluler. Mengakibatkan lambatnya antisipasi pihak keamanan dalam menanggulangi potensi bahaya konflik di daerah-daerah yang rawan. Disamping itu keterbatasan sinyal juga mengakibatkan penyelenggara pemilu juga memberikan respon yang lambat terhadap proses pemilu di satu distrik dengan distrik yang lainnya. Kesulitan koordinasi pada akses informasi serta komunikasi inilah menyebabkan perbedaan pendapat pada masing-masing pihak berkonflik karena hanya didasarkan klaim sepihak dan tidak didasarkan pada bukti kuat.
Permasalahan yang keempat adalah pemilukada tentunya memakan biaya pelaksanaan yang begitu tinggi. Salah satunya adalah proses distribusi surat suara di daerah-daerah yang mempunyai geografis sulit terutamanya di daerah pegunungan tengah. Belum lagi personel penyelenggara pemilu di setiap wilayah distrik yang berkaitan satu sama lain haruslah menempuh wilayah cukup sulit. Inilah yang menjadi hambatan tentang proses pelaksanaan pra pemilukada dan pasca pemilukada terutamanya proses pengamanan pelaksanaan pemilukada.
Kompleksitas yang tinggi pada permasalahan politik di Papua inilah harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentukan pola penerapan “demokrasi”. Penerapan pemilukada secara langsung harus ditinjau ulang karena banyaknya ekses negatif terutama pasca penerapan Otonomi Khusus di Papua tahun 2001 banyak timbul permasalahan secara horizontal pada masyarakat Papua. Demokrasi yang dinilai sebagai jalan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat nyatanya dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan golongannya. Pemekaran wilayah justru menimbulkan konflik secara terbuka karena ketidakpuasaan dalam penyelenggaraan proses politik.
Dimensi masyarakat Papua memang sangatlah komplek dimana faktor politik, keamanan, ekonomi dan sosial budaya memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Disamping itu peran aktor-aktor lokal di Papua yang memiliki keterkaitan dengan kepentingan lokal, nasional, dan internasional ditambah pula masalah separatisme serta disintegrasi melibatkan kelompok sipil bersenjata. Kebijakan pembangunan nasional di Papua belum menerapkan prinsip inklusifitas dan kemanfaatan pembangunan bagi orang asli Papua. Akibatnya ekspresi kebebasan sering kali berakibat pada konflik disertai dengan tindak kekerasan.
Perlu ada logika dirubah mengenai perkembangan pembangunan masyarakat Papua terutamanya masalah politik. Selama ini logika yang dipakai dalam penerapan kebijakan menggunakan “Logika Jakarta” artinya dalam pemilukada secara langsung pertama perlu ada identifikasi masalah dan pemahaman yang sama, maka strategi penyelesai masalah Papua akan dapat dirumuskan. Kedua perlu ada evaluasi terhadap program-program pemerintah yang sudah dilaksanakan seperti UU Otsus bagi Papua, penyelesain kasus pelanggaran HAM, dan berbagai kebijakan lain. Melihat kelebihan dan kekurangannya. Perubahan cara pandang secara sektoral ini akan memberikan dampak yang cukup signifikan dengan cara membangun Papua menggunakan “Logika Papua” bukan menggunakan “Logika Jakarta”.
Secara desentralisasi politik tidak semuanya sesuai dengan pola pilkada secara langsung (desentralisasi asimetris). Beberapa daerah memang perlu dilakukan penunjukkan oleh pemeritah pusat sebagai bentuk demokratisasi dan minimalisir adanya konflik terbuka. Proses kandisasi pun harus diawasi pula pelaksanaanya, bakal calon kepala daerah harus memahami birokrasi, tidak melakukan tindakan amoral dan asusila serta mempunyai etos kerja tinggi. Disamping itu pengawasan terhadap pelaksaan dana Otsus yang begitu besar juga harus dilakukan, tidak hanya itu program pelatihan penggunaan dana otsus juga menjadi penekanan penting. Karena selama ini pemerintah pusat hanya sekedar menggelontorkan dana besar tapi kemudian penerapannya dan pengawasannya sering kali lepas tangan tanpa melihat evaluasi dan dampak dari penggunaan dana tersebut.
Intinya guna menyelesaikan konflik pemilukada di Papua ini harus diadakan dialog diantara beberapa pihak. Keterbukaan forum dalam membicarakan ulang mengenai konsep tepat berkenaan proses demokratisasi di Papua dalam hal ini adalah mekanisme pemilu. Dialog nasional akan menciptakan proses demokratisasi sesuai dengan nilai luhur masyarakat Papua. Kultur negoisasi bukan hanya wujud dari partisipasi masyrakat papua tapi bagian yang tidak terpisahkan pada ideologi kebangsaan Indonesia yang percaya nilai-nilai musyawarah mufakat. Dengan perlu digaris bawahi setiap penyelesain konflik harus dilakukan dengan cara-cara damai dan tidak melakukan manipulasi kekerasan meskipun pada prakteknya tetap harus ada pengamana dari pihak keamanan.
Sebagai penutup tingkatkan kemampuan masyarakat Papua untuk bisa (dengan “Logika Papua), bukan membentuk masyrakat Papua sesuai dengan kehendak kita (“Logika Jakarta”). Karena tujuan politik menciptakan kekuasaan guna memperoleh kebahagiaan, bukan menciptakan kekuasaan yang didasarkan pada ketamakan dan keserakahan.
Mohammad Darry
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia
Sumber gambar : Sindonews.com