Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

13 November 2017

"KUDERA MERANGKAK" - Peran Amerika, Jatuhnya Rezim Soekarno dan Penghancuran Komunisme

Baca Juga



Gerakan 30 September 1965

MINDIS.ID - Pada 1 Oktober 1965 jam tujuh pagi melalui siaran radio telah disampaikan akan adanya upaya kudeta yang dilakukan sebuah kelompok dengan menamakan dirinya sebagai “Dewan Jendral” yang disponsori oleh CIA terhadap kedudukan Presiden Soekarno pada tanggal 5 Oktober 1965 saat hari jadi Angkatan Bersenjata. Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung selaku pemimpin Komandan Resimen Tjakrabirawa menyebutkan telah menangkap para “Dewan Jendral” tersebut untuk dibawa kepada Presiden Soekarno guna mempertanggungjawabkan tindakannya tersebut. Para Dewan Jendral yang berasal dari kalangan pimpinan Angkatan Darat ini dianggap sebagai kalangan komprador yang haus kekuasaan, menginginkan dominasi, serta abai terhadap kesejahteraan pasukan.

Setelah pengumuman tersebut, tindakan selanjutnya dibentuklah Dewan Revolusi untuk menjalankan pemerintahan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan Presiden Soekarno. Gerakan 30 September serta pembentukan Dewan Revolusi itu kemudian mendapatkan dukungan dari Panglima Angkatan Udara Marsekal Omar Dhani yang menyatakan bahwa Gerakan 30 September telah melindungi dan menjaga revolusi serta Pemimpin Besar Revolusi dari subversi CIA dengan jalan melakukan “suatu pembersihan di kalangan Angkatan  Darat”. Ia menyatakan, Angkatan Udara telah dan selalu mendukung seluruh gerakan yang progresif revolusioner (Perintah Harian Panglima Angkatan Udara). 

Namun di hari yang sama, 1 Oktober 1965, pukul 21.00, Mayor Jendral Soeharto, komandan Komando Strategi Angkatan Darat menyampaikan pidato singkat di radio dan mengatakan, “suatu gerakan kontra revolusioner” telah menahan enam Jendral termasuk Panglima Angkatan Darat Letnan Jendral Yani. Soeharto menguraikan pembentukan Dewan Revolusi sebagai kudeta melawan Presiden Soekarno dan mengumumkan bahwa ia telah mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat dan telah dicapai pengertian bersama antara Angkatan Darat, Laut, dan Kepolisian untuk menghancurkan Gerakan 30 September. (Crouch, Army and Politics in Indonesia). Dari kesepakatan ini kemudian Mayjen Soeharto melakukan penyerbuan ke Halim Perdanakusuma sebagai basis utama kelompok “Gerakan 30 September”.

Kudeta Merangkak

Kenyataan di lapangan bahwa ternyata Gerakan 30 September tidak dapat membawa para jendral tersebut dalam kondisi hidup. Dari beberapa penangkapan jendral tersebut, ada yang terbunuh dan beberapa dibunuh ketika dibawa ke Lubang Buaya. Situasi yang tidak menentu tersebut membuat Soekarno untuk menunjuk Pranoto sebagai pimpinan Angkatan Darat sementara untuk menggantikan Jendral Yani, akan tetapi memang Soeharto yang merasa lebih senior dengan dukungan Jendral Nasution yang selamat dari penangkapan Gerakan 30 September, tidak memberikan izin kepada Pranoto untuk ikut serta menyerang Pangkalan Angkatan Udara tersebut. Soeharto kemudian menggunakan Resimen Para Komando Angkatan Darat (Sekarang Kopassus) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo untuk melakukan penumpasan Anggota Gerakan 30 September tersebut. Karena besarnya pengaruh Soeharto pada tubuh Angkatan Darat tersebut itulah kemudian memaksa Soekarno untuk menunjuk Soeharto sebagai pimpinan Angkatan Darat dan bertindak untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Pada 4 Oktober, setelah menemukan para jenazah Jendral Angkatan Darat di Lubang Buaya. Jendral Soeharto yang secara cepat dan efisien mampu menerima kewenangannya untuk memulihkan keamanan dan ketertiban tersebut menyatakan bahwa PKI sebagai dalang atas adanya peristiwa Gerakan 30 September. Pernyataan ini kemudian menjadi pembenaran pada masyarakat untuk melakukan upaya pembantaian terhadap para anggota serta simpatisan PKI di berbagai wilayah di Indonesia kala itu. Daerah-daerah sebagai basis utama PKI seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali terjadi pembantai, penangkapan terhadap orang-orang komunis tanpa melalui proses peradilan tindakan ini didukung oleh militer terutamanya setelah 17 Oktober 1965 Kolonel Sarwo Edhie Wibowo beserta pasukan Komandonya melakukan upaya “pembersihan” terhadap sisa-sisa kekuatan PKI.

Sedikit demi sedikit, kekuasaan Presiden Soekarno mulai berkurang dengan adanya penolakan serta aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat dan mahasiswa serta didukung oleh Angkatan Darat guna membubarkan PKI yang dianggap bersalah. Sentimen Anti-Komunis muncul karena Komunislah yang dianggap bersalah dalam peristiwa Gerakan 30 September. Kekuasaannya melalui Surat Perintah 11 Maret 1966, Jendral Soeharto perlahan tapi pasti mulai melakukan upaya menghilangkan pengaruh Presiden Soekarno terhadap basis masanya dengan cara melakukan pembubaran PKI serta menangkap para tokoh yang terlibat. 

Dukungan Amerika Serikat terhadap peran Jendral Soeharto ini bisa dikatakan cukup besar apabila melihat situasi politik internasional kala itu. Kudeta merangkak yang kemudian mendongkel kekuasaan Presiden Soekarno ini menghancurkan komunisme setidaknya ada beberapa alasan pada waktu. Pertama, situasi politik internasional karena pada saat itu terjadi perang dingin antara blok kapitlais dengan komunis dengan mencipatakan hegemoni pada negara-negara dunia ketiga sebagai salah satunya Indonesia. Kedua, sikap keras politik luar negeri Soekarno yang anti-Amerika. Ketiga, kekhawatiran Amerika terhadap PKI akan merebut kekuasaan secara demokratis apabila dapat memenangkan pemilu sebagai legitimasi kekuasaannya seperti yang dijelaskan oleh Guy J Pauker sebagai penasihat CIA dan Washington.

Apabila kita melihat dampak yang terjadi pasca-peristiwa 1 Oktober 1965 bahwa PKI dan orang-orang komunis dipersalahkan. Pada proses “pembersihan” ini setidaknya menunjukkan keterlibatan Amerika Serikat menurut Anderson dan McVey pada 1978 dalam tulisan “A Preliminary Analysis of The October 1 1965 Coup in Indonesia” dijelaskan pertama bahwa tidak ada bukti bahwa sebelum atau sesudah peristiwa 1 Oktober PKI melakukan makar (maka pembantaian PKI dan para simpatisannya ini adalah pengambinghitaman). Kedua, PKI tidak berusaha  memobilisasi basis masanya yang besar untuk pergolakan tanpa kekerasan. Menurut Julie Southwood dan Patrick Flannagan peristiwa 1 Oktober tersebut merupakan puncak atas periodisasi pemerintahan Soekarno pada 1950-1965 dengan meliputi tiga hal pokok yakni mengenai kebijakan Soekarno, kebangkitan dan peranan kepemimpinan tentara yang dibekingi Amerika, dan sikap serta respons Amerika terhadap kebijakan Soekarno. 

Di samping itu Amerika Serikat melihat pentingnya potensi Indonesia sebagai sebuah daerah yang harus “ditaklukan” karena memiliki basis sumber daya alam yang dibutuhkan oleh industrinya. Hal itu sudah nampak sejak perseturuan Amerika Serikat dengan Jepang memperebutkan wilayah Asia-Pasifik ini, pascakekalahan Jepang memang ada upaya Amerika Serikat menancapkan pengaruhnya di Indonesia meskipun usahanya beberapa kali gagal sebagai contoh kegagalan pemberontakan PRRI/Permesta. Tidak heran apabila Amerika Serikat berusaha mendongkel kekuasaan Presiden Soekarno yang dekat dengan pihak komunis ini, karena khawatir Amerika tidak akan mendapatkan kekayaan alam Indonesia tersebut. Serta sikap keras kepala Soekarno yang menolak bantuan Amerika Serikat.

Soeharto Menikmati Hasilnya
Adanya keterlibatan Amerika Serikat dalam upaya penggulingan kekuasaan Soekarno dan penghancuran PKI serta basis pendukungnya itu kemudian membuat sebuah keuntungan tersendiri bagi Jendral Soeharto. Melesatnya Jendral Soeharto dalam perburuan pucuk pimpinan Angkatan Darat ini karena dirinya tidak dalam daftar Jendral yang masuk pada komplotan “Dewan Jendral” menurut Gerakan 30 September hal ini dikarenakan Soeharto mendukung G30S karena sikapnya yang netral, seperti penjelasan Kolonel Latief yang memberitahu kepadanya tentang kudeta yang direncanakan perwira senior dan ada upaya pencegahan yang akan dilakukan oleh para perwira lainnya. 

Gerakan 30 September juga memberikan maksud untuk menumpas musuh Soeharto seperti Nasution yang karenanya jabatan Soeharto sebagai Panglima Divisi Diponegoro pada 1959 akibat dicurigai melakukan korupsi dan kedua dengan Yani yang bersilang pendapat dengan peranan Kostrad. Soeharto selalu siap sedia untuk menyelamatkan bangsa ketika gerakan 30 September ini mengalami kegagalan. Dengan lolosnya Nasution serta gagalnya anggota gerakan 30 September menangkap “Dewan Jendral” hidup-hidup maka kesempatan untuk mengancurkan G30S adalah pilihan tepat untuk menguatkan posisi Soeharto pada pucuk pimpinan Angkatan Darat dengan menggunakan senjatanya yakni Kolonel Sarwo Edhi yang menumpas Gerakan 30 September. 

Obsesi Soeharto yang hanya sekadar menumpas Gerakan 30 September serta mempersalahkan pihak Angkatan Udara kemudian berubah ketika PKI dianggap paling bertanggung jawab pada peristiwa itu. Tindakan ini pun didukung oleh sebagian besar dari kelompok fanatik Islam dan Kristen, kaum nasionalis, para bekas pemimpin kaum sosialis. Di samping itu tindakan untuk memukul mati inilah yang kemudian didukung oleh korporasi Amerika. Menurut majalah Time, penggulingan Soekarno adalah “berita asing terbaik yang ditunggu selama bertahun-tahun di Asia” serta adanya aksi massa anti komunis dengan membakar kantor pusat PKI dengan meneriakkan slogan “Jayalah Amerika”. Oleh karenanya perubahan cara pandang Soeharto untuk kemudian mengubah PKI menjadi musuh bersama membuat dukungan besar terhadap dirinya disamping itu peran besar di Amerika Serikat telah mampu mendongkel kekuasaan Soekarno serta menghancurkan komunisme inilah yang kemudian menjadi keberhasilan Soeharto dalam aksi “Kudeta Merangkak”.


Mohammad Darry 
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia 


Sumber Gambar : Liputan6.com 


Post Top Ad

Your Ad Spot

Halaman