Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

04 July 2024

Peran Pendidikan Karakter dalam Mengurangi Kasus Bullying di Kalangan Siswa

Baca Juga


Bullying adalah masalah serius yang sering terjadi di jenjang pendidikan. Berbagai bentuk kekerasan, seperti pelecehan, penindasan, pemaksaan, pemerasan, dan intimidasi, sering kali digolongkan sebagai "bullying". Salah satu bentuk kekerasan di sekolah yang dikenal sebagai pelecehan terjadi ketika satu atau lebih individu dengan secara fisik atau verbal sengaja menyakiti orang lain. Bullying dapat mengganggu kesehatan mental korban. Dalam mengatasi masalah ini sangat penting, salah satunya dengan mengembangkan pendidikan karakter pada siswa. Hingga saat ini, kasus bullying sering terjadi di masyarakat, terutama di lingkungan pendidikan Indonesia. Namun, dampak dari bullying ini sangat serius bagi korban, terutama dari segi kesehatan mental. Penting untuk segera menghentikan tindakan bullying ini. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan adalah melalui pendidikan karakter, yang merupakan metode untuk meningkatkan moral individu. Pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan nilai-nilai seperti integritas, empati, dan tanggung jawab, tetapi juga membantu mengembangkan kesadaran akan pentingnya menghormati dan menghargai keberagaman di antara individu.

Tercatat sebanyak 226 kasus bullying, Pada tahun 2022. Sebelumnya, terdapat 53 kasus pada tahun 2021, dan tercatat 119 kasus pada tahun 2020. Jenis bullying yang banyak dialami oleh korban adalah bullying fisik sebanyak 55,5%, bullying verbal 29,3%, dan bullying psikologis 15,2%. Berdasarkan tingkat pendidikan, korban sebanyak 26% siswa Sekolah Dasar (SD), diikuti 25% siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan 18,75% siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyatakan bahwa kasus bullying masih menjadi ancaman bagi siswa di lingkungan sekolah (Dpr, 2023).

Dampak negatif bullying terhadap korban sangat beragam dan mencakup berbagai aspek kehidupan mereka. Korban bullying sering mengalami kesulitan dalam membentuk hubungan sosial yang sehat, dari dalam ataupun di luar lingkungan sekolah, yang memengaruhi kemampuan mereka untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain di masa depan. Yayasan Sejiwa melaporkan bahwa di Indonesia terdapat 34 kasus bunuh diri akibat bullying pada tahun 2011, dan pada tahun 2012 jumlahnya meningkat sehingga beberapa orang harus dirawat di rumah sakit jiwa (Bachri et al., 2021). Efek buruk dari bullying tidak hanya berwujud fisik, tetapi juga mempengaruhi psikologis, seperti takut untuk pergi ke sekolah, rendahnya rasa percaya diri, merasa kesepian, munculnya depresi, dan bahkan dapat menyebabkan tindakan bunuh diri.

Secara global, siswa dihadapkan pada berbagai rintangan yang menghambat Pendidikan dan masa depan mereka. Beberapa tantangan ini berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan. Diperkirakan sekitar 246 juta siswa mengalami kekerasan di dalam dan di sekitar sekolah setiap tahun, sementara 73 juta anak hidup dalam kerawanan pangan, kemiskinan, dan kelaparan (Unesco, 2023). Kekerasan ini tidak hanya berdampak langsung pada kesehatan fisik dan mental korban, tetapi juga dapat menyebabkan mereka merasa tidak aman di lingkungan sekolah. Kondisi ini dapat mengganggu proses belajar mengajar dan mempengaruhi prestasi akademis serta kesejahteraan emosional siswa secara keseluruhan.

Kekerasan terhadap siswa tersebar luas dan masih menjadi kenyataan pahit bagi jutaan siswa di Asia Selatan. Pada tahun 2018, sekitar 64% siswa di seluruh dunia mengalami kekerasan yang serius, dengan sebagian besar kasus terjadi di Asia Selatan. Jenis kekerasan yang dialami mencakup bentuk fisik, emosional, dan seksual, yang tidak hanya terbatas pada area sekolah, tetapi juga dapat terjadi di rumah dan dalam masyarakat. Kekerasan fisik terhadap siswa mencakup tindakan seperti pemukulan, dorongan, atau bentuk kekerasan lain yang menyebabkan cedera fisik atau ketakutan pada korban. Kekerasan emosional sering kali terjadi dalam bentuk pelecehan verbal, penghinaan, atau kata-kata merendahkan yang dapat mengganggu harga diri dan kesejahteraan psikologis siswa. Kekerasan seksual mencakup segala bentuk pelecehan seksual, termasuk pelecehan fisik dan verbal yang memanfaatkan kekuatan atau posisi kekuasaan terhadap korban.

Dalam upaya pencegahan bullying di lingkungan pendidikan yang rentan terhadap kekerasan. Kontribusi pendidikan karakter sangat penting  dengan mengajarkan nilai-nilai seperti rasa hormat, empati, dan tanggung jawab. Pendidikan karakter membantu siswa untuk memahami dampak negatif dari perilaku bullying dan meningkatkan kesadaran akan hak-hak serta martabat orang lain. Melalui pendekatan ini, siswa dilatih untuk mengembangkan keterampilan komunikasi yang sehat dan cara-cara yang konstruktif untuk menyelesaikan konflik. Hal ini tidak hanya membentuk sikap positif dalam interaksi sehari-hari, tetapi juga memperkuat ikatan sosial yang inklusif di antara siswa.

Pendidikan karakter pada dasarnya dapat  berasal  dari pengamatan dan upaya pembiasaan dalam lingkungan di mana siswa itu bersosialisasi. Pendidikan karakter memiliki dampak signifikan terhadap tindakan, perilaku anak, ungkapan, dan  respons terhadap situasi. Lingkungan yang menerapkan sosialisasi dan norma yang jelas dapat membantu siswa mengenali dengan lebih baik perbedaan antara perilaku yang baik dan kurang baik, serta perilaku yang membanggakan atau merugikan orang lain (Yola Azhari et al., 2023). Dengan menerapkan pendidikan karakter secara efektif, sekolah bisa menjadi lingkungan yang mendukung dan aman bagi semua siswa, mengurangi insiden bullying serta meningkatkan kesejahteraan emosional serta akademik mereka.

Di sekolah guru tidak hanya berperan sebagai instruktur akademis, tetapi seorang guru harus mampu menjadi pendidik karakter dan moral untuk siswanya. Guru mampu menyatukanmdi setiap mata pelajaran melalui kegiatan pembelajaran yang dijalankan pendidikan karakter dalam mengintegrasikan nilai-nilai dan prosedur yang relevan dengan kehidupan sehari-hari ke setiap mata pelajaran (Afifah & Khamidi, 2017). Melalui kegiatan pembelajaran yang direncanakan dengan baik, guru dapat memperkuat kesadaran siswa akan integritas, tanggung jawab, empati, dan kerja keras dalam konteks pembelajaran yang berbeda-beda.

Keterlibatan orang tua turut berperan dalam merancang pendidikan karakter dengan cara mendukung dan melaksanakan komitmen bersama guru untuk membentuk karakter siswa. Orang tua mendampingi siswa dalam proses belajar di rumah dengan mengatur dan memaksimalkan waktu belajar, serta mengawasi siswa saat bermain. Orang tua juga aktif memonitor kegiatan dan perkembangan anak di lingkungan rumah (Krisnawati, 2016). Namun ada orang tua siswa yang belum menyadari bahwa mereka juga bertanggung jawab dalam pembentukan karakter, sehingga mereka hanya mengandalkan sekolah untuk memberikan harapan dan kepercayaan sepenuhnya.

Program KiVa di Finlandia telah menjalani evaluasi yang cermat melalui uji coba terkontrol secara acak. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa KiVa efektif dalam mengurangi penindasan dan viktimisasi yang dilaporkan baik oleh korban maupun teman sebaya mereka. Program ini telah terbukti mampu mengurangi berbagai bentuk penindasan seperti verbal, fisik, dan cyber. Lebih dari itu, KiVa juga berdampak positif dalam mengurangi tingkat kecemasan dan depresi di antara siswa, serta meningkatkan persepsi mereka terhadap hubungan sosial dengan teman sebayanya.

Menunjukkan bahwa KiVa tidak hanya mengurangi insiden-insiden penindasan secara umum, tetapi juga memberikan dampak positif yang signifikan terhadap kehidupan emosional dan sosial siswa. Sebanyak 98% dari korban yang terlibat dalam program diskusi dengan tim KiVa di sekolah melaporkan perbaikan signifikan dalam situasi mereka. Data dari lebih dari 1000 sekolah yang menerapkan KiVa menunjukkan bahwa setelah tahun pertama penerapan, terjadi penurunan yang nyata dalam tingkat viktimisasi dan intimidasi di lingkungan sekolah (Kärnä et al., 2011).

Keberhasilan KiVa dalam menghadapi tantangan seperti penindasan dan intimidasi menunjukkan pentingnya pendekatan yang komprehensif dalam mendukung kesejahteraan siswa. Dengan fokus pada pendidikan karakter, pencegahan bullying, dan pembentukan lingkungan sekolah yang aman dan inklusif, KiVa memberikan contoh yang kuat tentang bagaimana intervensi yang tepat dapat membawa perubahan positif dalam kehidupan sekolah dan kehidupan emosional siswa secara keseluruhan.

Pendidikan karakter memainkan peran penting dalam upaya pencegahan perilaku bullying di mana pun berada. Dalam era globalisasi, pendidikan tidak hanya berfokus pada peningkatan prestasi akademik, tetapi juga pada pengembangan karakter yang kuat bagi setiap individu. Pentingnya pendidikan karakter terlihat dalam perannya untuk mencegah bullying melalui peningkatan kesadaran diri individu. Dengan pendidikan karakter, mereka dapat mengendalikan diri, mengelola emosi, dan mengembangkan kontrol diri yang lebih baik. Oleh karena itu, penanaman pendidikan karakter dapat mengurangi peluang terjadinya kasus bullying (Garini Ardhia et al., 2023). Ketika nilai-nilai ini tertanam kuat dalam diri siswa, mereka lebih cenderung untuk bersikap baik dan menghormati orang lain, sehingga mengurangi kemungkinan mereka melakukan tindakan bullying.

Pendidikan karakter yang efektif juga mengajarkan tentang konsekuensi negatif dari bullying, baik bagi korban maupun pelaku, sehingga siswa memahami dampak buruk dari perilaku tersebut dan terdorong untuk menghindarinya. Selain itu, pendidikan karakter membantu mewujudkan lingkungan sekolah yang inklusif dan positif, di mana setiap siswa merasa dirinya diterima dan dihargai. Sekolah yang menekankan pendidikan karakter akan membangun budaya yang mengedepankan nilai-nilai kebersamaan, keadilan, dan rasa saling menghormati. Dalam lingkungan seperti ini, siswa merasa lebih aman dan lebih berani melaporkan tindakan bullying jika mereka menyaksikannya atau mengalaminya sendiri.

Pendidikan karakter seharusnya menjadi fokus utama dalam program pendidikan karena ia membangun dasar moral dan etika yang kuat bagi siswa. Di era modern yang penuh tantangan dan kompleksitas sosial, pendidikan karakter dapat membantu siswa memahami nilai-nilai seperti kerja keras, integritas, empati, dan tanggung jawab. Ketika karakter baik ditanamkan sejak dini, individu lebih mampu menghadapi berbagai situasi kehidupan dengan sikap positif dan etis. Ini juga membantu menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan beradab, di mana setiap anggota komunitas memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya nilai-nilai moral dalam interaksi sehari-hari.

Selain itu, pendidikan karakter memainkan peran penting dalam perkembangan psikologis dan emosional siswa. Dengan karakter yang baik, siswa dapat mengembangkan keterampilan sosial penting seperti kemampuan bekerja sama, berkomunikasi efektif, dan mengelola konflik secara konstruktif. Pendidikan karakter juga membantu siswa mengembangkan rasa percaya diri dan harga diri yang positif, karena mereka diajarkan untuk menghargai diri sendiri serta orang lain. Dalam lingkungan pendidikan yang menekankan karakter, siswa lebih mungkin merasa terlibat dan memiliki kepemilikan terhadap proses pembelajaran mereka, yang pada akhirnya meningkatkan motivasi dan prestasi akademik mereka.

Pada akhirnya, menekankan pendidikan karakter dalam program pendidikan dapat membawa dampak jangka panjang yang signifikan bagi masyarakat. Generasi muda yang dibesarkan dengan nilai-nilai moral yang kuat akan menjadi pemimpin dan warga negara yang bertanggung jawab, berkontribusi positif terhadap pembangunan sosial, ekonomi, dan politik. Mereka cenderung lebih peduli terhadap isu-isu global seperti keadilan sosial, lingkungan, dan keberlanjutan. Oleh karena itu, integrasi pendidikan karakter dalam kurikulum tidak hanya bermanfaat bagi individu siswa, tetapi juga bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.



Referensi

Afifah, N. R., & Khamidi, A. (2017). Peran Guru Dalam Pengembangan Karakter Peserta Didik Di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Karakter8(1), 137.

Bachri, Y., Putri, M., Sari, Y. P., & Ningsih, R. (2021). Pencegahan Perilaku Bullying Pada Remaja. Jurnal Salingka Abdimas1(1), 30–36. https://doi.org/10.31869/jsam.v1i1.2823

Dpr. (2023). Pemerintah Harus Petakan Faktor Penyebab Bullying Anak. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/46802/t/Pemerintah+ Harus+Petakan+Faktor+Penyebab+Bullying+Anak#:~:text=Sementara itu untuk jenis bullying,SMA (18%2C75%25).

Garini Ardhia, N., Ginting, B., & Ritonga Utama, F. (2023). Jurnal Pengabdian Masyarakat Bidang Sosial dan Humaniora Penanaman Pendidikan Karakter sebagai Upaya Mencegah dan Mengurangi Kasus Bullying2(4), 521. https://doi.org/10.55123/abd isoshum.v2i4.2933

Kärnä, A., Voeten, M., Little, T., Poskiparta, E., Kaljonen, A., & Salmivalli, C. (2011). A large-scale evaluation of the KiVa antibullying program: grades 4-6. Society for Research in Child Development. https://doi.org/https://doi.org/10.1111/j.1467-8624.2010.01557.x

Krisnawati, A. (2016). Kerjasama Guru Dengan Orang Tua Membentuk Karakter Disiplin Siswa Kelas V Sd Negeri Gembongan. Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar Edisi 18118, 1.724-1.736. http://journal.student.uny.ac.id/ojs/index.php/pgsd/article/view/2483/ 2133

Unesco. (2023). Apa yang perlu Anda ketahui tentang pendidikan untuk kesehatan dan kesejahteraan. Unesco. https://www.unesco.org/en/health-education/need-know

Yola Azhari, A., Lutfiana Nur Janah, D., Eka Meyliana, F., Setiawan Jurusan Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas, B., & Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, -a. (2023). Pengaruh Perkembangan Pendidikan Karakter Dalam Mengatasi Masalah Bullying Di Indonesia. Jurnal Literasi Pendidikan Dasar2(4), 257–271. https://doi.org/10.58192/sidu.v2i4.1588


Penulis: Vira Febriyani (202214500055)
R4A - Universitas Indraprasta PGRI

Post Top Ad

Your Ad Spot

Halaman